Minggu, 23 Januari 2022

Seperti itu Maut Cinta

“ Sampaikanlah kepadaku tentang maut dan cinta, aku ingin mendengarkannya,” kata pujangga penyendiri di kedai kopi. 

“Apakah engkau sanggup mendengarkannya? Jika iya akan aku sampaikan tentang maut dan cinta. Karena itu, dengarkanlah ucapan-ucapan ini,” jawab perempuan berkacamata. 

Malam membawakan lentera di kedai kopi murah di kota bangunan tua, dan buku-buku klasik menyinari setiap pinggir jalanan. Sedangkan, anak-anak muda menelusuri di setiap lorong-lorong sempit demi menemukan kedai murah di kota yang kini serba mahal. 

Lalu menyibukkan diri dengan perkumpulan tak begitu jelas diketahui apa yang sedang dikerjakan. Di meja pojok, anak muda terlihat  duduk dengan secangkir kopi dan sebatang rokok di mulutnya. Di hadapannya terdapat perempuan anggun berkaca mata sedang bermesraan. 

Mata pemuda itu, tak banyak bergerak sana kemari melihat hiruk pikuk orang-orang di kedai murah. Apalagi memandang kemesraan itu. Ia hanya mampu memperhatikan sebuah layar dan tumpukan kata-kata. 

Kendati begitu, dalam diam menghadap layar sungguh hatinya sedang memperhatikan sebuah percakapan, dan adegan sentuh menyentuh perempuan berkaca mata dengan seorang lelaki. Baginya adegan ini semacam teater yang berkonsep laki-laki yang mencintai perempuan pemeran teater itu. Akan tetapi, ia laki-laki mencintai dalam diam menyaksikan pertunjukan perempuan itu dengan laki-laki lain di kursi. 

Melalui sudut pandang perempuan, ia tidak mengetahui bahwa laki-laki itu mencintainya dalam diam. Bahkan beberapa bahasa tubuh dan bahasa isyarat yang disajikan oleh laki-laki ke perempuan itu ia tidak mengetahuinya. 

Kalau pun duga sangka jika perempuan itu mengetahuinya, maka ia benar-benar ingin membuat lelaki berada di jurang maut. Jurang penyiksaan melalui drama dalam pementasan teater. Sunggu bagi laki-laki itu tak kuat menengok adegan mesra itu. 

Terlebih lagi, pada saat adegan tersebut dimulai bumi kedatangan air hujan. Bagaimana tidak merasakan maut cinta, sedangkan hujan menyambut untuk merenungi kegagalan cinta. Belum sempat menyampaikan cinta ia harus menerima kenyataan pahit. 

 

Seperti halnya dalam komik puisi Julian Peters Comics berjudul Lagu Cinta J. Alfred Prufrock. Sebagaimana puidi itu menceritakan tentang cinta yang tidak tersampaikan alias cinta yang dekat dengan maut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Senin, 17 Januari 2022

Aku Sampaikan Rasa Sakit Mas Muda

Sakit. Satu kata dapat diucapkan tentang kehilangan diri yang simpel dan sederhana. Kehilangan itu benar-benar membuat diri berada di dunia linglung dan stres begitu dahsyatnya.

Aku menghitung hidup di dunia kacau itu tatkala dimulai ketika awal tahun hingga saat aku menulis ini. Tak tahu aku harus bagaimana menghadapi kehidupan semacam itu. Benar-benar menyakitkan aku menghadapinya di dalam kamar sempit bernama kos-kosan.

Termenung menghadap dinding kamar, menyalahkan rokok, dan memutar beberapa lagu. Itu hal yang sering aku lakukan dalam dunia kekacauan ini. Beberapa pertanyaan dalam diam yang hening aku melontarkannya:

Mengapa aku kehilangan diriku? Apa yang membuat diriku menjadi begini? Mengapa banyak pekerjaan yang aku tunda? Mengapa hasyrat menulis perlahan-lahan lesu? Mengapa kecemasan selalu berputar-putar dalam pikiran? Apakah angan-angan atau cita-citaku di masa depan sudah tidak bisa diharapkan?  Mengapa jam tidurku berantakan? Mengapa aku jarang membaca buku lagi seperti dulu?  

Sebenarnya masih banyak lagi pertanyaan yang aku lontarkan di keheningan. Tapi, itu saja yang ingin aku sampaikan kepada pembaca. Aku ingin berbagi tentang masa mudaku yang memiliki pergulatannya sendiri.

Bukan. Bukan maksud untuk ingin berbagai tentang kepedihan dalam menjalankan hidup di masa muda kepada orang lain pula. Sehingga, merasakan apa yang aku rasakan. Namun, dalam diriku ingin bersahabat dengan para pendengar. Orang yang pandai mendengar itu tujuan dari menulis ini.

Sebab, telah lama aku perhatikan banyak orang mampu menjadi orang pandai dalam beretorika atau bercakap-capak. Tapi, justru sebaliknya aku belum begitu banyak menemui orang-orang pandai mendengarkan.

Kembali lagi pada tentang rasa sakit di masa muda ini bagiku salah satu obatnya didengarkan. Kemudian, tidak ada penghakiman, tapi dirangkul. Dengan begitu, dalam hidup ada semacam kasih sayang di dunia kehidupan manusia.

Di dunia ke tidak pastian ini aku menari-nari dalam hening kesendirian. Di dunia masa muda  pergolakan kecemasan ini. Aku bagaikan bunga layu menanti musim semi. Itu. 

Aku Harus Bagaimana di Hadapan Cinta?

Aku telah terikat di ruang cinta yang hening itu. Ruangnya begitu sepi hanya ada aku dan sepotong kertas bertuliskan nama seseorang. Aku membaca satu demi satu beberapa huruf itu.

Perlahan aku membacanya dengan nada lembut. Suaraku memang tak lebih besar dari bunyi-bunyi ombak lautan. Aku tahu nyaliku selama ini di dalam dunia cinta hanya sebesar biji anggur.

Lihatlah diriku berdiri kaku di ruang sepi memperhatikan secarik kertas. Menangis, dan rapuh mempertanyakan tentang hati yang kosong: mengapa aku tak mampu mengatakan sepotong ungkapan rasa?

Pertanyaan itu mengingatkanku pada masa kecil. Suatu hari, di sudut sekolah aku sedang bermain kelereng mataku tiba-tiba memperhatikan seorang perempuan anggun hadir di depan mata. Ada getaran hati, dan ada getaran ketertarikan dari pandangan itu.

Namun, pandangan itu hingga saat ini tak pernah keluar dari mulutku untuk mengatakan: mengapa aku menyukai perempuan sepertimu? Mengapa ada getaran di hatiku?

Aku selalu meninggalkan pertanyaan itu di ruang keheningan, di kediaman hati, dan pertanyaan itu hanya aku saja mengetahuinya. Betapa payah memasuki dunia cinta. Memilih untuk berdiam diri tentang rasa demi satu sikap, yaitu agar ia tidak mengetahui bahwa aku mencintainya.

Kembali kepada masa saat ini, telah beberapa tahun lamanya aku tidak merasakan getaran cinta. Tetapi, seorang perempuan hadir di kehidupanku lagi. Dengan raut wajah anggun, dengan penampilan sederhana, dan dengan tipe pikiranku ia hadir.

Tak tahu bagaimana gejolak ombak dalam diri ini begitu menggebu-gebunya. Terpikat hati dan pikiran, hariku kini kerap berlayar di atas imajinasi-imajinasi namanya juga wajahnya.

Kendati begitu, aku takut tentang rasa ini tidak akan sampai lagi ke telinga perempuan itu. Layaknya masa-masa kecilku yang tak mampu mengucapkan kata yang tersembunyi di hati.

Aku harus bagaimana untuk memberanikan diri mengucapkan sebuah kalimat ini:

Jika aku diberikan kesempatan untuk mencintaimu. Aku ingin mencintaimu seperti tulisan yang mampu dikenang dan dibaca banyak orang. Ia abadi.

 

 

Senin, 10 Januari 2022

Dunia dan Pertanyaan.

Dunia Dan Pertanyaan.
-
Hampir di penjuru dunia pergolakan antara kaum muda, rakyat dan penguasa dewasa ini terjadi: Thailand, Yunani, Nigeria, Chili, Kolombia, Hong Kong, Palestina, Mexico, Spain, Amerika Serikat, Indonesia dan lain sebagainya ( Lihat di akun Instragram @redfishstream). Adapun permasalahan di setiap negara berangkat dari masalah yang berbeda-beda, akan tetapi pada intinya mereka tidak puas atau tidak mendapatkan keadilan dari penguasa.
-
Sebenarnya, hal semacam ini selalu terjadi dari tahun ke tahun. Dalam literatur yang diketahui banyak sekali ulasan-ulasan sejarah pergolakan dari abad ke abad dan siklus semacam itu tetap terjadi, seperti sudah menjadi satu unsur budaya tersendiri dalam pergolakan kaum oposisi.
-
Memetik ulasan di atas tersebut, mengapa aksi massa ini sudah menjadi budaya dalam pergolakan perlawanan kepada penguasa? Apakah masih efektif metode itu, di tengah perputaran alur zaman? Baik kita simpan dulu pertanyaan tersebut dalam pikiran kita masing-masing serta jawaban kita kontemplasikan sendiri-sendiri sahja. Hal itu sendiri guna mengaktifkan akal budi kita masing-masing.
-
Kemudian, apakah kemerdekaan utuh dan keadilan itu sebenarnya ada? Oleh sebab apa kita berani mengatakan bahwasanya kemerdekaan itu ada dan keadilan itu ada... Kalau-kalau itu semua hanya utopis semata, banyak hal yang mendorong faktor khayalan manusia terhadap kemerdekaan dan keadilan tersebut.
-
Namun, realitas membantah hal demikian. Dari tahun ke tahun, dari abad ke abad perputaran dunia tidak jauh akan kekejaman-kekejaman nafsu sebagian manusia yang memegang kekuasaan, entah itu dasar yang dikemukakan dengan alasan perkembangan zaman, pembangunan dan kemakmuran rakyat: walaupun harus ada yang disingkirkan atau dikorbankan dengan cara apa pun itu.

Selanjutnya ada dikolom komentar:
-
Catatan: foto ini diambil ketika sedang ada aksi di bundaran UGM (20/10)

Mereka yang Terasingi Dari Kehidupan-

Mereka Yang Terasingi Dari Kehidupan
-
Cahaya-cahaya lampu terang benderang di gedung besar nan menjulang tinggi  itu, terlihat jelas memanjakan mata. Dari dipinggir kali masyarakat cilik menyaksikan kemewahan peradaban modern yang terus menggelitik sanubari diri.
-
Tak banyak kemewahan yang ada di masyarakat cilik pinggiran Kali Code Yogyakarta, hanya kehidupan-kehidupan sederhana yang selalu menemani. Rumah berdempetan, kamar mandi bersama dan hidup rukun menjadikan ciri khas masyarakat sini.
-
Harapan-harapan kecil, mereka pupuk dengan saling bantu membantu untuk keberlangsungan hidup. Tuan dan nyonya, hidup mereka bukan tentang seberapa mahal perhiasan, pakaian, kendaraan dan semacamnya. Kehidupan mereka adalah kearifan hati, pikiran dan menjunjung tinggi kesederhanaan. 
-
Walaupun kita tahu dan menyaksikan, bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta telah berevolusi menjadi peradaban pamer memamer material. Namun, keteguhan hati dan pikiran membantah evolusi tersebut, mereka masih tetap menjadi diri sendiri dan menjunjung nilai-nilai Indonesia yang sebenarnya. 
-
Kini, suara-suara air pinggiran kali menemani malam di kali Code. Suara-suara bisik adik-adik kecil menambah suasana kehidupan, orang-orang memancing masih tetap menunggu pancingannya di lahap oleh sang ikan. Oh, beginikah kehidupan itu?
-
Kesaksian atas dunia indriawi, melebihi catatan-catatan yang tertulis di dalam buku-buku. Ya, ini lebih pahit dari pada imajinasi ketika membacanya. Realitas selalu menggugat sanubari diri, air mata hati selalu tertumpah. 
-
Akan tetapi, di tengah itu semua kebahagiaan masih tetap menyertai. Raut-raut wajah masyarakat sini penuh harapan pada anak-anaknya kelak suatu hari nanti anaknya dapat menjadi orang yang berguna untuk dirinya dan lingkungan. Tuhan, berikan rahmatmu untuk kampung kecil pinggiran kali yang terasingi oleh kehidupan ini.
-
Sebagaimana engkau ada pada mereka yang terasingi dari kehidupan, maka dengan itu berikan cintamu pada mereka. Agar mereka tetap mencintai engkau dan merawat bumi sebagaimana kehendakmu dalam ajaran-ajaran agama. Untuk mereka yang terasingi dari kehidupan. 
 
...

Menutup Tahun 2020

Menutup Tahun 2020

Begitu derasnya aliran sang waktu, begitu fananya kehidupan itu, dan begitu lalainya menggunakan setiap waktu yang diberikan olehnya. Sudah menjadi suatu kebenaran bila bahasa indah itu di renungkan, bahasa indah itu berbunyi, “demi waktu sungguh manusia merugi.” 

Maha bijaksana bahasa indah itu, bila dapat menangkap makna sesungguhnya. Waktu demi waktu yang digunakan untuk berlayar di kehidupan yang teramat luar biasa rayuan-rayuan ini. Acap kali sirna begitu saja tanpa sepenuhnya digunakan untuk kebajikan. 

Telah aku temui dalam diriku sendiri hal itu, tak perlu aku tengok di luar diriku. Sebab, kerugianku telah bertumpuk begitu tingginya laksana buku-buku yang bertumpukan tanpa pernah dijamah. Semakin mengusang, berdebu, dan kotor.

Dalam renungan masa muda di penghujung tahun ini pula, langit sedang meneteskan air matanya. Sedangkan bumi, sedang sengsara dari ke tidak seimbang-an hubungan antara manusia dan alam semesta. Atau alias manusia sedang bertengkar dengan dirinya sendiri

Benar, kerugian itu telah menghampiri, telah menjadi habit, dan pada akhirnya penyesalan akan tiba. Tunggulah demi waktu itu. Sembari dengan menunggu demi waktu,  semoga setiap jiwa yang bernyawa dapat menuntun rasa ikhlas menerima kehendak takdirnya.  Dengan begitu, tiadalah hamba yang merugi atas qodo dan qodarnya.

.................

La Tahzan. Jangan bersedih atas cobaannya, sungguh apakah kita tidak pernah menaruh rasa syukur dalam diri? Seberapa banyaknya nikmat yang ia berikan kepada kita perihal kebahagiaan dan kesedihan? Dapatkah kita menangkapnya...

Bukankah kebahagiaan yang ia berikan lebih banyak dari pada kesedihan? Memang betul, bahwa pada tahun ini ke tidak enakkan nan kesengsaraan menghampiri sepanjang tahun ini. Namun, bila kita dapat benturkan pada masa-masa silam atas waktu. Tentu, kesedihan itu tidaklah elok bila sampai berlarut-larut.

Oleh karenanya, mari menutup tahun yang penuh pembelajaran ini dengan rasa senang dan bahagia. Sebab, ada Pitutur yang mengatakan, “habis gelap terbitlah terang.” Artinya kita akan dihampiri oleh harapan-harapan baru lagi, yang lebih baik dari sebelumnya. Berbahagialah!

Kilas Balik

Kilas Balik

Gunung Prau, agaknya menyimpan ingatan mendalam bagi siapa saja yang pernah berkunjung ke sana. Bukan tanpa sebab, mengapa Gunung Prau ini membuat orang terngiang-ngiang akan ingatan  sewaktu berkunjung ke sana. Ingatan tentang jejak langka yang menyatu dengan alam ini semacam tinta pena yang menulis di kertas dengan kata-kata indah yang terus mengalir dan sulit untuk dihentikan. 

Barang tentu, inilah ingatan paling indah sepanjang jejak langka mengarungi di tahun 2020 dalam kehidupan saya. Sebagaimana menyaksikan keindahan alam yang tiada dapat dituntaskan dengan bahasa apa pun perihal untuk menjelaskan keindahan dari gunung Prau tersebut. Mulai dari keindahan bunyi alamnya, angin, sabana, panorama, kesunyian malam, kabut pagi, pepohonannya, bunga, dan semacamnya.

Kilas balik akan ingatan itu, manakala ketika kaki melangka pada pagi hari mata ter manjakan dengan panorama gunung Sindoro, Sumbing, dan sunrise. Maha lengkap pada saat itu keindahannya, sampai-sampai ucapan bahasa indah itu terucapkan dalam hati, “Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban.” Sungguh, inilah keindahan pancarona negeri di atas awan yang diberikan oleh ia Rabb sang pencipta alam semesta.

Kemudian, saya masih ingat betul, kenyamanan ketika berada di atas gunung Prau itu tidak hanya terletak pada keindahan dalam memandang panorama  gunung-gunung lainnya. Akan tetapi, udara sejuk dari dersik-dersik itu pula melengkapi jejak ingatan ini. Saya sangat merasai bahwa setiap jejak ingatan mesti harus dirasai sepenuh hati, sebab keindahan tidak dapat ditangkap jikalau hati dan alam tidak saling berhubungan. 

Ketika udara sejuk menghampiri itu, terciptalah dalam diri bahwa alam dan diri sudah bersatu. Terjadilah suatu keadaan damai, tenang, dan mudah menangkap suatu keindahan dari kehidupan. Ingatan itu benar-benar membawa diri pada satu kilas balik Gunung Prau dalam kerinduan untuk bertemu kembali. Ya, ya, rindu itu memang berat. 

Kerinduan itu juga semakin mencekik, ketika sabana dan bunga-bunga di atas ketinggian 2.565 MDPL melintas dalam ingatan. Benar adanya, bunga-bunga di tanah Prau maha elok warnanya dan cantik. Sabananya pun begitu adanya pula. Satu kilas balik kerinduan.

Tentang Bumi Jawa

Tentang Bumi Jawa

Bumi Jawa bukan saja terkenal akan sejarah yang begitu gemilang tetapi banyak sekali keelokan dari bumi Jawa ini. Saya terkesan, saya gumun, saya jatuh cinta, dari semua hal itu. Mengapa begitu banyak pemberian-pemberian yang sangat gemilang, bahkan patut untuk disyukuri mereka yang terlahir dan menjadi orang Jawa. 

Inilah salah satu risalah yang ingin saya sampaikan dari sisi-sisi bumi Jawa yang patut untuk diketahui. Bukan tentang candi-candinya, bukan pula tentang orang-orangnya, namun tentang gunung Prau itulah yang ingin saya kabarkan. Mari menyimak, mari merasa, mari berkenalan. 

Gunung Prahu merupakan gunung yang terletak di dataran tinggi dieng, Jawa Tengah. Gunung ini acap kali disebutkan memiliki ketinggian 2.565 MDPL pada kenyataannya tidak demikian adanya, lebih-lebih bila kita menaiki puncak dari gunung Prau ketinggiannya lebih dari yang sebenarnya. 

Bila merujuk pada istilah Prau maka hal itu disebabkan gunung ini berbentuk semacam perahu. Manakala dari bawa saya menatap gunung Prau benar adanya berbentuk perahu, terlepas dari anggapan lainnya, perihal mitos dari gunung Prau saya tidak terlalu mendalami.

Hal lain dari gunung Prau, ketika sampai di atas kita akan mengetahui bahwa gunung ini merupakan tapal batas antara empat kabupaten: Batang, Kendal, Temanggung, dan Wonosobo. Kemudian dari sisi keindahan, akan disuguhkan hamparan sabana bukit teletubbies, benar: cantik, indah, tak tertandingi kelokaknya. Beserta kecantikan bunga-bunga daisy bak lautan bunga-maha indah.

Apalagi, di depanya terlihat keindahan Gunung Sindoro, Sumbing, Merapi, Merbabu, dan Slamet. Tidak pernah menemui satu hamparan lukisan alam yang indah semacam itu, ini benar-benar estetis. Di tambah lagi Golden sunrise terbaik  di Jawa bahkan di Asia Tenggara. Semacam surga dunia yang berada di bumi Jawa.

Sejuta pesona keindahan alam ada di bumi Jawa, lihatlah, kunjungilah, dan pelajari. Bahwa telaga warna bermacam itu, berada di tanah Prau ini. Saya sangat kagum, gumun, dan merasa jatuh cinta pada bumi Jawa atas kegemilangannya. 

(Wonosobo, Dieng, Jawa Tengah 26/12/20)

▫️Menggugat Zaman▫️

▫️Menggugat Zaman▫️

Dalam kesunyian malam aku ingin berdansa dengan ketenangan. Hirup pikuk kehidupan tiada hentinya menghantam seluruh pikiran dan hati, maka dengan berdansa di kesunyian aku berharap ketenangan menghampiri. Hanya itu harapan bertemu ruang sunyi tiada lebihnya. 

Seorang ibu datang kepadaku ingin meminta mengajarkan anaknya baca tulis. Sebab, kondisi pandemik sekaligus perilaku pemangku kuasa dewasa ini benar-benar mempersulit harapan masyarakat cilik.

“Mas, mas Feby, tunggu bentar ada yang mau diobrolkan.” Saut ibu-ibu padaku sewaktu turun dari anak tangga ingin menuju ruang ngaji di pinggiran kali Yogyakarta.

“Iya, bagaimana, Bu?” jawabku dengan lagak kalem. 

"Begini, Mas, mau ndak mengajarkan anak saya membaca dan menulis?  Karena saat ini kan kondisi pandemik, jadi sekolah umum kurang efektif takutnya anak saya ndak bisa membaca dan menulis. Mosok, masuk SD nanti ndak bisa begitu. Kalau soal pembayaaran tenang aja.” Gerutu ibu itu padaku.

Percakapan kurang lebih tidak lama itu, dan pertanyaan ibu itu tadi aku jawab dengan meminta waktu untuk memikirkan kembali untuk dapat menjawabnya. Sebab, banyak hal yang mesti aku pertimbangkan. 

Namun, sesungguhnya poin yang terpenting pada realitas kehidupan masyarakat cilik itu. Terletak pada kondisi hari-hari ini, bagaimana takutnya orang tua bila anaknya tidak terdidik, dan masa kecilnya sirna begitu saja tanpa makna sesungguhnya. 

Persoalan ini, aku kira tidak hanya dialami ibu ini saja. Tapi, banyak orang tua di pelosok negeri menghawatirkan pendidikan anaknya. Minimnya sarana prasaran untuk belajar bagi anak-anak rakyat cilik dan kurang efektifnya pengajaran di masa pandemik ini.

Tentu hal ini, menjadi momok mengerikan untuk keberlangsungan generasi penerus bangsa sekaligus kehidupan berbangsa yang bermutu. Realitas hari-hari ini, benar-benar menghantarkan diriku pada satu kegelisahan tiada hentinya. Imajinasi sekaligus hati selalu menggugat dalam ruang sunyi. 

Semoga bumi dan hiruk pikuk kehidupannya lekas pulih beserta dapat bersiklus dengan baik. Ah, dansa pada sunyi malam ini terlalu berharap lebih.

Memperkosa Ibu Kandungnya Sendiri

Memperkosa Ibu Kandungnya Sendiri 

“Mengapa negeri ini perlahan-lahan sudah tidak ada harga dirinya dan mengapa manusianya malah memperkosa ibu kandungnya sendiri (bangsanya sendiri). Bukankah ini suatu bencana besar, kakek?” Ucap Nuin menggugat keadaan negerinya, dan ingin mendengarkan persepsi kakeknya perihal keadaan negeri dewasa ini. 

Maka kakek berumur 85 tahun itu menyampaikan persepsinya kepada cucuk paling muda tersebut; Nuin, kau tampak jelas gelisah terhadap bangsamu, kau pula tampak memperhatikan betul gejolak  hilangnya martabat negerimu, dan kau cucukku, sangat mendambakan serta menantikan kewarasan manusia negerimu. 

Kakek harap kau mendengarkan betul apa yang menjadi perbincangan kita malam ini, yang dibarengi oleh hujan dan secangkir teh hangat tanpa gula. Lihatlah hujan malam ini, ia seolah ingin mengabarkan pada kita bahwa negerimu sudah tidak baik-baik saja atau sudah bisa dikatakan pada tahap ingin hancur sejadi-jadinya. 

Hujan paham betul cara mengabarkan bahwa ia sedang menangis. Termasuk melihat kondisi hari-hari ini sebagaimana banjir ada di mana-mana, tanah longsor, dan bencana alam lainnya. “Bukankah ini suatu tangisan alam yang buminya diperkosa oleh anak-anaknya sendiri, wahai cucukku? “

Terlepas akan hal itu, cucukku. Kakek sudah paham betul gelagat-gelagat manusia yang memimpin negerimu, mereka hanya gila jabatan, martaban, dan kekayaan. Tapi, kewarasan mereka ditempatkan dipantatnya sendiri alias martaban dirinya sudah tiada penting bagi mereka. 

Tak usah jauh-jauh membuktikan hal itu, lihatlah tempat tinggal kakekmu ini, tidak akan lama lagi akan terusik oleh mereka. Padahal, kami sebagian besar warga desa menolak akan perampokan itu, tapi mereka tetap mengotot, meneror, dengan dalih untuk kemajuan zaman. Mereka tidak paham menghormati orang seperti kakek ini yang berjuang memerdekakan negeri ini. 

Mereka sombong dengan kemajuan berpikir mereka di era modern ini. Tapi, sesungguhnya mereka akan tenggelam dalam keangkuhan itu sendiri, cucukku. Mereka seolah tidak paham menghormati leluhurnya sendiri, dan malah sibuk memperkosa tanah airnya sendiri hanya untuk kepentingan nafsu pribadi.

Lentera Kenangan

Lentera Kenangan 

Lentera-lentera malam kerap hadir dalam bayangan kenangan. Lentera itu terang benderang walaupun kegelapan lebih banyak dari pada cahaya lentera. Dahulu, kampung tempatku singgah dan dibesarkan barang sampai tamat Sekolah Dasar belum ada listrik hanya menggunakan lentera masyarakat menerangi kesunyian malam. 

Kini, gambaran cahaya lentera itu dan kenangan sederhana itu hanya sebagai kenangan yang ada dalam imajinasi pikiran. Sedangkan hati, hanya mencoba merasa akan kehadiran lentera dan kenangan itu pada masa kini. “Masa kecil memang paling indah untuk dikenang,” begitulah hatiku berujar. 

Orang-orang semacam diriku ini hanya dapat mengingat, bernostalgia, dan tersenyum sendiri dalam lautan kesunyian. Tak terkecuali, air-air gelabah juga menjadi teman bercerita teramat baik di lautan sunyi tersebut.  Kadang-kadang pula, merenungi sepak terjang kehidupan yang telah dilalui. Entah itu tentang kepahitan, kesedihan, kebahagiaan, kerinduan,  dan semacamnya. 

“Hidup adalah menerima takdir.” Sepak terjang kehidupan telah aku lalui dalam kurun 9 tahun ini, ber-musafir dan menyelami dunia kesendirian.  Telah aku selami, telah aku rasakan, telah aku coba bertahan. Terima kasih untuk diriku telah menerima takdir. 

Tak ada ucapan keistimewaan atau hal lainnya untuk aku astu pada diriku. Aku hanya berbisik ketika ada di atas permukaan air Rowo Jombor kepada diri sendiri, “selamat bertambah usia diriku.” Ucapan sederhana dengan buluh-buluh merinding. Aduhai, teramat kokoh jiwamu sampai-sampai sudah tumbuh dan mekar hidup seperempat abad kurang di muka bumi ini. 

Maka dengan ini, tidak banyak kehendak ketika bertambah usia ini, tetaplah tumbuh dan mekar. Seperti bunga yang bisa mekar dan indah di musim apa sahaja. Laluilah hidup dengan keindahan niscaya keharuman akan mengharumi diri sendiri. Dan tentunya sekitar pula. 

Pada titik akhir, lentera kenangan akan tetap menyalah dengan sendirinya. Menyalah dalam kerinduan yang menggebu-gebu, menyala dalam ruang hati. Lentera malam dan kesunyian.

Radio Lawas dan Ingatan Silam

Radio Lawas dan Ingatan Silam

Ia berkata, "hidup begitu kacau, ke sana kemari manusia saling senggol menyenggol, sikut menyikut, dan jatuh menjatuhkan bahkan sampai bunuh membunuh : entah itu untuk merebut jabatan, pengakuan dari masyarakat, atau untuk memenuhi nafsu-nafsu yang tak terkontrolkan." 

Secangkir kopi, senandung musik di radio lawas bergema kala sore datang. Waktu yang pas untuk merehatkan badan dari hiruk pikuk kehidupan manusia. Tentunya pula,  sambil menikmati lintingan tembakau. 

"Memang, bila kita kaji lebih jauh

Dalam kekalutan, masih banyak tangan

Yang tega berbuat nista... oh." 

Gema-gema suara nyanyian dan petikkan gitar Ebit G Ade yang menusuk sanubari, dan lirik-lirik mengajak untuk merenungi setiap lakon hidup. Begitulah kiranya karakter dari seorang penyanyi ini, ia pandai dalam membuat lirik-lirik lagu untuk manusia renungkan. 

Tak terkecuali seperti seorang kakek bernama Tumidi. Seorang kakek yang berusia hampir satu abad, dan sangat menyukai radio lawas yang di dalamnya sudah tersaji penyanyi semacam Ebit G Ade. 

Sehingga musik-musik semacam itu, dapat membuat ia tenang serta dapat mengingat setiap kehidupan yang telah ia lalui. Mulai dari era kolonial, orde lama, orde baru, reformasi, dan era revolusi industri 4.0 saat ini. 

Tentunya di setiap era  memiliki perbedaan. Namun, terlepas akan hal itu sifat tamak dari manusia tidak pula kunjung hangus. Nampaknya sifat itu akan kekal abadi hingga sampai bumi ini tiada lagi. Tinta-tinta yang tertulis di dalam sejarah telah membuktikan.

Catatan Sejarah Dalam Hening

Catatan Sejarah Dalam Hening

Dalam ruang yang hening. Mata, hati, dan pikiran hanya tertuju pada lembar-lembar yang telah bermuara menjadi sebuah dokumen-dokumen sejarah. 

Di dalam lembar-lembar catatan sejarah itu: darah mengalir bagaikan aliran sungai, bunyi-bunyi jeritan manusia, serta tawaan manusia begitu besar bergema. Hingga mengguncang ruang hati. 

Catatan sebuah sejarah bukan hanya pada warna kertas hitam dan putih. Melainkan bermacam-macam warnanya. Begitulah ukiran dari sejarah peradaban manusia. 

Anak-anak kecil dipaksa menonton yang tidak seharusnya ia tonton. Ibu-ibu yang seharusnya dilindungi karena ia yang telah melahirkan rahim peradaban, justru ditumpas begitu bengisnya. Bapak-bapak yang seharusnya mengayomi keluarganya di bunuh tanpa ada belas kasih. 

Ah sudahlah, sejarah umat manusia selalu mencacat sebuah kekejian. Aku  sudah memperhatikan tindak tanduk manusia, bahwa manusia telah membuang rasa simpati dan akal sehatnya sendiri. 

"Peperangan melawan diri sendiri kiranya lebih dahsyat, ketimbang peperangan bom dan bom." Manusia harus kembali pada dirinya, manusia harus sudah sejak dalam diri berani berperang dengan hawa nafsu. Ia harus bisa memenangi peperangan itu. 

Oleh sebab, hanya dengan itu manusia bisa membangun peradaban dengan elok dan penuh dengan keindahan. 

Aku merindukan dunia yang tidak ada peperangan. Aku merindukan dunia yang anak kecil bisa bermain dengan tenang tanpa ada bunyi-bunyi bom. Aku merindukan orang-orang yang sedang beribadah di tempat ibadahnya dengan tenang dan tidak ada rasa takut.

Ke manakah aku bisa melihat dunia semacam itu? Atau, bagaimana kita akan memulai peradaban semacam itu? Apakah kita tidak ada semacam kerinduan dengan sejarah yang penuh dengan ketenangan, dan tidak ada orang-orang mati karena politik, agama, budaya, dan semacamnya?

Nama Aku Siti

Nama Aku Siti

Orang memanggilku dengan sebutan Siti. Tubuhku ini sangat hitam dan kumal, keseharianku biasanya menjual tisu dan menjual kerupuk di kota Yogyakarta. Tepatnya, menjual di lampu-lampu merah dan di pinggir-pinggir jalan (Jln. Kota baru dan Jln. Kusuma Negara) 

Kebiasaan itu aku lakukan dari umur enam tahun, hingga saat ini kelas empat SD. Aku juga, mempunyai satu orang adik yang aku sebut namanya Hafad. Ia juga sering membantuku saat berjualan tisu dan kerupuk tersebut. 

Sedangkan tempat tinggalku di belantara kali. Tempat orang-orang ciliknya Yogyakarta. Tempat yang berbeda dengan kehidupan Yogyakarta yang kata banyak orang sangat istimewa. 

... 

Siti itulah diriku, tanpa sedikit pun orang tahu makna dari nama yang diberi ibu dan ayah itu. Aku pun sebaliknya begitu, sesungguhnya tidak tahu persis makna dari nama itu. 

Aku hanya tahu, bahwa takdirku hidup di jalanan bersama ibu untuk mendapatkan sesuap nasi di era modern ini. Ayah pun, aku tidak tahu bagaimana rupanya, bola matanya, hidungnya, sedang apa, dan di mana. 

"Tuhan, apakah sesungguhnya engkau memberikan jalan takdirku begini pahitnya?" gumun gadis kecil itu seraya menggugat takdir. 

"Ibu, mengapa aku berbeda dengan anak lainnya? Anak-anak seumuran denganku sedang asyik bermain dan belajar bersama teman-teman, sedangkan aku dan adik hidup di jalan berjualan tisu dan kerupuk? Mengapa aku berbeda ibu?" tanya Siti kepada ibunya sehabis berjualan dan sambil istirahat di dekat ibunya. 

Pepatah bijak mengatakan, diam itu emas. Ibu Siti hanya diam menerapkan pepatah itu. Ia tidak ingin menjawab, bahkan ia hanya batuk-batuk kecil: "uhuk, uhuk,". Kalaupun menjawab, persis dengan jawaban hari-hari sebelumnya. 

"Suatu hari nanti engkau akan mengerti, Siti. Suatu hari nanti, engkau akan mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu." 

" Sudah saat ini kita beres-beres dan pulang lebih cepat. Ibu sedang tidak enak badan," ucap Ibu Siti sembari dengan berdiri dan ingin pulang.

Suara Ombak dan Suara Hati

Suara Ombak dan Suara Hati

Angin di pantai begitu deras, pohon-pohon turut serta bergoyang, dedaunan satu persatu berjatuhan, bagaimana dengan hatiku? Apakah ia turut serta mengikuti irama angin, dan suara gemuruh ombak? 

Hati jawablah. Hati bersuaralah. Mengapa engkau diam? 

Hati tempat paling sakral yang dimiliki oleh manusia. Walaupun ia terletak di dalam tubuh, tak terlihat secara jelas tetapi hati maha besar. Maha besar kesakitannya, maha besar rasa rindunya, dan hati ruang cinta manusia. Sekaligus juga tempat penyembuh paling mujarab. 

Bagaimana hati bisa membuat kerinduan? Bagaimana hati bisa saling mengikat kedua insan yang awalnya tak mengenal? Lantas, di mana letak cinta itu sesungguhnya? 

Aku menemukan dialog cinta yang sedang diperankan kedua insan manusia. Begitu dahsyat kala memperhatikan teater mereka, hanya dua insan yang memainkan. Dan, musiknya langsung dimainkan oleh gemuruh suara ombak, angin pantai, serta penontonnya para pepohonan. 

Di dalam keheningan aku menemukan suatu keindahan. Di dalam keramaian aku belum tentu dapat menangkap dialog alami semacam itu. 

Ketika, tasbih-tasbih cinta mulai dibunyikan. Ketika alam sudah memainkan perannya. Hanya hati yang tenang dapat menangkap dan berdialektika langsung dengan cinta. 

Aku tidak ingin menggagap bahwa cinta hanya pokok hubungannya antara manusia dan manusia. Selebihnya, bukan cinta: anggapan semacam itu sudah begitu berevolusi di zaman saat ini. Bukankah begitu anggapan secara klise? 

Aku ingin bercinta dengan alam, mendengarkan suara-suara gemuruh ombak, ditemani pepohonan yang rindang. Dan kicauan burung-burung di atas. 

Begitu hidup penuh dengan pemberian-pemberian yang baik. Hanya saja, bagaimana mana manusia memosisikan diri saja. 

Selembar tulisan aku titipkan pada angin. Untuk menyampaikan langsung salam rinduku pada ia yang telah memberikan keindahan hidup. 

Maha elok hidup
Maha besar cinta itu
Mengapa manusia tidak ingin memiliki cinta? Ia lebih memilih kehancuran hati.

Bagaimana Manusia Membunuh Dirinya Sendiri?

Bagaimana Manusia Membunuh Dirinya Sendiri? 

Manusia sudah terlanjur membunuh dirinya sendiri. Dari masa kecil manusia sudah menyiapkan keranjang-keranjang peti mayat yang bertuliskan, "membunuh diri sendiri." Pada masa dewasa ia sudah mulai menggali kuburannya masing-masing. Pada masa lansia ia tinggal memasukkan diri di dalam tanah yang berukuran dua meter itu. 

Pada intinya manusia hanya tinggal menunggu perputaran waktu yang tepat untuk dirinya. Tak usah risau ataupun berbohong, perihal  tidak membunuh diri sendiri. Tanpa disadari dalam keseharian kita telah berulang kali membunuh diri sendiri. 

Ironisnya, kita tidak ingin mengakui itu. Seberapa banyak kita melihat mayat-mayat yang berjalan hanya dengan raganya saja. Akan tetapi, hati dan pikirannya sudah dibunuh berulang kali oleh dirinya sendiri.

Atau jangan-jangan kitalah satu dari sekian banyak mayit-mayat yang berjalan itu? 

Dalam kamus besar Indonesia arti kata membunuh: menghilangkan, menghabisi, mencabut, dan mematikan. Tepat, untuk menuliskan  ihwal manusia telah berulang kali mematikan, menghabiskan hati dan pikirannya. Padahal, kedua organ tubuh ini inti penting yang  dimiliki manusia. 

Kadang kala hati dimatikan karena suatu perilaku yang sudah menjadi  habit (iri, dengki, kebencian, dan seterusnya). Padahal, Al Imam Ghozali berkata, " Qolbu kita ibarat cermin, dan melalui cermin itu seseorang dapat melihat dengan jelas segala sesuatu yang datang padanya: tentunya setelah dibersihkan dari semua kotoran yang melekat padanya. 

Sedangkan untuk pikiran itu sendiri, manusia telah menghilangkan atas kegunaannya. Seberapa banyak manusia menggunakan pikirannya hanya untuk menyakiti sesama makhluk hidup? Padahal sesungguhnya perilaku semacam itu justru sedang menyakiti diri sendiri. 

Pada titik akhir lintas sejarah yang dibangun oleh manusia. Hanya peradaban membunuh diri sendirilah yang kerap dibanggakan. Mereka begitu bangga atas kemajuan yang mereka buat, padahal ia telah lupa karya sesungguhnya yang telah ia buat yaitu peti mayat yang bertuliskan " Membunuh Diri Sendiri."

Sunyi

Sunyi 

Rintihan dalam sunyi menghantarkan pada suatu keadaan diam, tenang, dan melupakan segala aspek keduniawian. Sunyi adalah ruang yang amat sepi dan gelap nun jauh dari perputaran dunia manusia. Itulah sunyi dunia yang berbeda, dunia yang jauh dari nafsu-nafsu.
 
Sunyi aku memahami sebagai teman yang tak kasat mata. keberadaannya ada dan ada kala setiap individu mau menyelami kesepian dalam hidupnya. 
 
Sunyi menghantarkan kita untuk bercakap-cakap pada diri yang sesungguhnya. Ia mampu menangkis serangan bertubi-tubi maupun menendang kebohongan atas apa yang ingin kita tuturkan melalui akal pikiran. Sebab, sunyi adalah suara terdalam langsung dari sanubari. 
 
Ia tidak dikontrol terlebih dahulu melalui pikiran. Penyebabnya, mengapa pada suatu keadaan ramai orang-orang lebih bisa mengontrol diri sendiri? Olehnya itu, dikarenakan pikiran telah memfilterkan terlebih dahulu mana yang baik dan buruk yang ingin dikeluarkan. 
 
Sehingga hal buruk yang akan merugikan personalnya di depan orang terhindarkan. Dalam hal ini, kita telah mengetahui bahwa setiap orang tidak mau citra diri buruk terekspor di dunia eksternalnya. 
 
Namun, cukup berbeda pada sunyi dengan hatinya. Ia pada kondisi tunggal, maka ia bisa mengeluarkan segala hal yang ada dalam diri. Baik itu perihal kebaikan maupun keburukan yang ada di dalam diri. 
 
Hal ini tentunya ada indikatornya, saat keadaan ingin self reminder. Pada saat itu, otomatis sunyi menuntut diri untuk berlaku jujur pada diri sendiri. Sehingga, dengan keadaan jujur pada diri sendiri perbaikan-perbaikan akan dilakukan. 
 
Maka tidak heran, bila aku menyematkan sunyi adalah teman yang baik dan jujur. 
 
Terlebih lagi, ketika kita telah berteman dengan sunyi. Sunyi akan menuntun ke mana jalan yang mesti ditempuh dan jalan yang tidak boleh ditempuh.

Melalui berteman dengan sunyi manusia dapat mengenal dirinya. Melalui berteman dengan sunyi, aku berpikir dan merasa dunia akan menjadi indah. Tanpa ada peperangan dan saling jatuh menjatuhkan ataupun bunuh membunuh.

Jendela Kos: Dalam Ratapan Silam

Jendela Kos: Dalam Ratapan Silam

Dari jendela kos pada sore hari. Aku berdiri melihat anak-anak kecil bermain di halaman kos, mereka begitu riang bermain bersama sahabatnya. 
 
Dari jendela kos juga aku melihat orang tua di dekat anak-anak kecil yang bermain, ia sedang mengendong bayinya. Lalu orang tua itu, berbicara pada bayinya dalam pelukan cintanya. 
 
Akan tetapi, yang aku tidak mengerti ialah bahasa apa yang digunakan ibu-ibu itu. Apakah sih bayi memahami komunikasi orang tuanya melalui lisan? 
 
Alih-alih bayi bisa memahami komunikasi orang tuanya, ia hanya bisa merengek sedih meminta sesuatu hal. Bayi selalu berkomunikasi dengan bahasa tangisnya. Pandai! 
 
Melihat kondisi yang ter gambarkan pada sore ini. Aku selalu ingat pada masa silam, masa yang tidak akan pernah kembali dan terulangi lagi. 
 
Hanya bisa dikenang dan selalu teringat dalam lintas takdir yang telah berlalu. Bersama angin dan cahaya sore aku mengenang jauh di lubuk hati. 
 
Suara hati nun jauh di dalam diri, memberikan pertanyaan: apakah hidup hanya tentang perputaran waktu? Sebagaimana waktu kecil amat berbahagia bisa bermain bersama sahabat kecil. Bisa mendapatkan pelukan hangat Ibu dan bapak. 
 
Tapi, pada masa dewasa keindahan masa kanak-kanak itu perlahan-lahan mulai sirna. Pelukan hangat ibu dan bapak hanya bisa digantikan dengan bantal guling dan rintihan rindu. 
 
Inilah roda, inilah perputaran waktu. Menjelma menjadi silam: sejarah hidup yanh menjadi catatan-catatan kenangan saja. 
 
Lantas, kenangan itu akan kita apa kan di catatan sejarah hidup kita? Apakah hanya berhenti pada imajinasi dan ratapan sendu di pojok kesendirian? Atau kah kenangan itu menjadi sebuah harapan baru bagi kita untuk mengukir sejarah baru dalam diri. 

Kemudian, dengan mengukir sejarah baru di masa saat ini. Akankah kita mampu memberikan pula kepada mereka yang tidak mendapatkan kebahagiaan dan keindahan layaknya masa kecil kita? 

Mungkinkah kita hanya mengukir sejarah baru tentang keindahan dan kebahagiaan untuk diri sendiri. Tapi, tidak untuk generasi dibawa kita?

Sepeda Ontel Bapak

Sepeda Ontel Bapak 
 
Mari kita gunakan sepeda,  mengayunnya ke lembah-lembah sawah. Lalu menengok alam yang hijau dan menengok petani sedang membajak sawahnya. Sembari juga mendengarkan kicauan burung, aliran air yang mengalir ke setiap ladang sawah para petani. 
 
Kemudian, kita juga bisa menyiulkan mulut untuk memanggil angin. Layaknya masa kecil  yang sedang bermain layang-layang, selalu menyiulkan mulut. Sebagai kehendak merasakan keelokan dari kehidupan. 
 
Begitulah lakon hidup kebahagiaan yang amat sederhana yang mungkin tak kita sadari. Sesederhana itu ternyata memperoleh kebahagiaan. Hanya dengan bersepeda  menelusuri setiap lembah-lembah sawah, dan bernyanyi bersama alam.  
 
Kata ibuku, hiduplah dengan sederhana, jika bisa bahagia dengan berlaku sederhana kenapa tidak menjalankannya sahaja?  Kata ibu kepadaku lagi, tengoklah bapakmu hidupnya amat sederhana. 
 
“Semasa kau kecil dulu, bapak mengajak kau untuk menelusuri desamu dengan sepeda ontelnya. Lalu, bercakap-cakap tentang kehidupannya yang telah dijalankan barang hampir setengah abad. Tentunya itu berbicara persoalan kesederhanaan bapakmu.  Kau tentu juga masih ingat tentang ingatan masa kecilmu itu, bukan?” ujar ibu waktu itu. 
 
Kebahagiaan artinya menjalankan kehidupan dengan rasa syukur. Dapat merasakan setiap pemberian alam, dan sedapat mungkin membagikan kebahagiaan kecil di lubuk hati. Itu pesan yang aku dapat waktu bercakap bersama ibu. 
 
Kadang kala kebiasaan orang tua berlaku sederhana menular kepada anaknya. Mungkin, apa yang aku dengungkan tentang kesederhanaan hidup merupakan efek kebiasaan orang tua mengajarkan kepadaku. 
 
Bapakku juga mungkin begitu apa yang aku rasakan saat ini. Barangkali, mbah aku berlaku sederhana dalam menjalankan hidup. Sehingga, bapak mengikuti jejak filosofisnya. 
 
Waktu itu, aku pernah beberapa kali diajak oleh mbahku berkunjung ke sawah. Kemudian di ladang, menamlah aku bibit padi. Ada yang aku amati pekerjaan hari itu, kesederhanaan, kebahagiaan, dan percakapan  cinta aku dan mbah menghantarkan kebahagiaan yang diperoleh dengan sederhana. 
 
Hidup yang bahagia memang tidak muluk-muluk  datang dari keagungan harta. Tapi, ia hadir melalui hati merasa.

Tentang Perjalanan 30 Menit yang Terhentikan

Tentang Perjalanan 30 Menit yang Terhentikan

Sih jago hitam, telah melaju 30 menit dikendarai oleh salah seorang pemuda.  Menuju ke suatu tempat, yaitu kedai kopi di Kaliurang. Sebagai bentuk rasa memenuhi janji untuk bertemu sama teman-teman.  Tujuannya, bercengkerama sekaligus juga belajar saben minggu bersama salah satu komunitas di Yogyakarta. 
 
Ia hanya berteman dengan sih jago hitam, alias Astrea dalam perjalanannya. Dalam perjalanan itu, hanya percakapan pada diri yang selalu menemani. Barangkali apa yang ia cakap kan pergolakan diri menjadi penghibur kebosanan waktu menyetir. 
 
Tapi, percakapan pada diri itu terhentikan, dan 30 menit perjalanan itu terhentikan. Langit telah berwarna pekan, dan tanda turun hujan akan tiba. Walhasil, praduga sangka turunnya hujan terjadi juga. Malah begitu bergemuruh, begitu deras air hujan itu. 
 
Terhantamlah sekujur tubuh, dan hujan itu menyetubuhi setiap orang-orang yang melintas di jalan Kaliurang. Orang-orang kini menghindari disetubuhi hujan, mereka berteduh. Mereka menghentikan laju-laju kendaraannya. 
 
Pemuda itu sendiri bagaimana? Ia juga manusia biasa, ia juga seperti manusia  pada umumnya. Masih penakut untuk menerobos gemuruh air hujan. Ciut. Ya, disebabkan ia tidak memiliki mantel pelindung diri dari peluruh-peluruh hujan. 
 
Akhirnya, ia juga berteduh di Indomaret. Sembari menunggu redah atau berhentinya serangan hujan. Ia keluarkan dompet lalu mengulurkan uang ke kasir untuk membayar  sebungkus rokok seharga 12.300 rupiah, nescafe, dan mantel. 
 
Meminumlah ia nescafe itu, menyalakanlah korek ke sebatang rokok, dan menengok ia air hujan yang deras.  Dan ia juga mengamati setiap-setiap mata tajam orang-orang yang berteduh. 
 
Namun, orang-orang itu begitu berpasang-pasang dan bercakap-cakap kepada teman, pacar, juga anak. Pemuda itu tidak, ia hanya sendirian. Menunduk dirinya, menatap layar hp lalu mengetikkan tentang perjalanan hari ini. 
 
Ini adalah sebuah perjalanan yang terhentikan di 30 menit di jalan Kaliurang Km 10. Hanya tinggal, 15 menit ia sampai. Pemuda itu hanya terdiam dan bercumbu pada kata-kata sebagai teman.

Budaya Akademik yang Dikhianati

Budaya Akademik yang Dikhianati
 
Dunia akademis menuntun setiap orang yang bergelut di dalamnya agar dapat mengembangkan kecerdasannya (kognitif), mental (intuisi), dan perilakunya. Sehingga dengan tuntunan dunia akademis, setiap orang akan dapat menjalankan kehidupan penuh kebenaran, kebijaksanaan, serta muaranya menghasilkan cinta sesama makhluk hidup.
 
Karena itu lahirlah orang-orang yang dinamakan kaum intelektual, berasal dari perguruan tinggi atau tempat-tempat belajar lainnya.  Yang memiliki andil besar terhadap keberlangsungan suatu peradaban di dunia, maupun terhadap makhluk hidup di dalamnya.
 
Melalui kajian ilmu Filsafat, literatur yang saya baca pagi ini. Menarik untuk diulas dalam tulisan kali ini, perihal dunia akademis itu. Sebab, ada semacam pemelintiran secara serius budaya kaum akademis. Jika kita tilik, budaya akademis hari-hari ini muaranya tidak lagi ke arah tuntunan dunia akademis yang telah saya sebutkan tadi. Melainkan, hanya bersifat kepengecutan dan pengkhianatan ilmu pengetahuan.
 
Landasan itu saya pakai dengan pengalaman pribadi di perguruan tinggi yang sedang saya geluti. Dalam banyak mata kuliah yang telah saya pelajari di bangku kuliah. Pelajarannya amat jarang mengajak mahasiswa untuk berpikir sebagaimana mestinya budaya di dunia akademik.
 
Tidak lain, pelajaran itu hanya menghantarkan mahasiswa untuk melanggengkan status quo alias melanjutkan tradisi perbudakan zaman. Saya menemui, pembelajaran hari-hari ini mahasiswa dituntun untuk memenuhi tuntutan zaman yang bobrok. Tiada mengajak mahasiswanya untuk berpikir, mempertanyakan, menguji, dan merefleksi keadaan zaman itu.
 
Tradisi akademik itu telah dikhianati oleh mereka kaum intelektual sendiri. Padahal, ilmu pengetahuan khususnya ibu dari ilmu, yaitu Filsafat sebagai alat menguji hidup, merefleksi terhadap problem kehidupan, dan muaranya kebenaran yang menghasilkan kebijaksanaan. Tetapi, bagaimana kehidupan akademik hari-hari ini?
 
Apakah dunia akademik yang saya analogikan sebagai perpustakaan itu sudah dipenuhi oleh buku-buku, dan orang yang membaca, serta menulis?  Perpustakaan itu malah sebaliknya dijadikan sebagai tempat perancang bom untuk merusak peradaban?

Sesendok Teh di Penghujung Bulan September

Sesendok Teh di Penghujung Bulan September
 
Meringkuk duduknya, sendirian ia berdiam diri, dan hanya sunyi temannya. Memasuki di penghujung bulan September ia dan pergulatan tentang diri. 
 
Di ujung sendok teh bulan September, ia masukkan ke dalam mulut dengan tenang dan gembira. Tiada teman atau seseorang waktu itu. Apalagi kekasih. Barangkali itu memang dunianya.
 
 Kendati, dunianya berselimutkan  kesunyian. Ia masih tetap bisa bergembira dan menjalankan kehidupan. Karena dunia begituan, menghantarkan dirinya kepada refleksi  kehidupan. 
 
Dunia itu berisikan soal percakapan pada diri. Dunia yang kini sudah tiada diminati oleh banyak orang. Hanya dunia pengasingan. Juga mana mungkin orang mau memasuki dunia begituan?
 
Orang-orang lebih bersenang diri pada dunia kebisingan. Dunia yang penuh tendang menendang soal kehidupan. 
 
Menyelami kesendirian, artinya menyelami realitas yang berlawanan. Ia harus berani menerima kata banyak orang, dikutuk oleh realitas kehidupan sehingga bermuara kepada   kesendirian. 
 
Walaupun memang, di dalam dirinya terdapat penolakan pandangan demikian. Ia menolak  pandangan itu, sebab dunianya bagaikan sesendok teh di penghujung bulan September. 
 
Udara yang dingin, embusan angin segar, kicauan burung, segarnya tumbuhan, dan mekarnya bunga di penghujung bulan September. Semakin menyegarkan kala memasuki sesendok teh hangat ke mulut. 
 
Inilah dunianya, ketenangan pikiran dan hati. Ia memulai menciptakan dunianya sendiri. Dunia yang berlawan, dan dunia yang sedapat mungkin untuk menendang tipu muslihat diri sendiri. 
 
Memasuki penghujung bulan September. Teh hangat pada sore itu, sepiring kecil pisang goreng, dan merpati putih di depan matanya. 
 
Bagaikan sekuntum mawar dipetik salah seorang gadis muda kepada dirinya. Dalam realitas kehidupan nyata. Maka berbahagialah dirinya dalam musafir kehidupan. 
 
Kini, bunyi rintik-rintik hujan telah menyetubuhi  raganya. Wajahnya menatap ke langit, ia melihat kegelapan langit telah menampakkan diri. Artinya, langit memberikan simbol waktunya manusia  menyelami dunia kesunyian.

Sukinem Sih Gadis Jawa Pujaan Jon

Sukinem Sih Gadis Jawa Pujaan Jon
 
Jon, adalah manusia haluh dan selalu suka berkhayal. Pada suatu sore, Jon, berkunjung ke suatu tempat pergelaran seni. Tampak pada saat itu ia sanggat bergembira hati mengunjungi  pentas seni.
 
Gadis idaman yang disukai Jon dalam khayalkannya sedang berada di sana. Itulah mengapa, Jon bersuka hati pada sore hari itu. Gadis idaman Jon tersebut bernama Sukinem. 
 
Sukinem merupakan gadis Jawa bermuka teduh, tapi sedikit ada campuran muka asing. Kata Jon, gadis itu memang idamannya sedari dalam pikiran dan mimpi-mimpinya. Ia melihat ada semacam cahaya di wajah Sukinem yang membuat saben ingin tidur sulit memejamkan mata. 
 
Terlebih pada setiap mimpi-mimpinya bila sudah tertidur, Sukinem selalu hadir berada di sampingnya. Tapi, itu di dunia khayalan. Jon, khayalannya semakin menjadi-jadi ketika berada di pergelaran seni itu. Orang yang hadir di setiap acara tersebut untuk melihat orang-orang bermain seni yang estetik. 
 
Namun, Jon justru  berbeda; mata, hati, dan pikirannya tertuju pada Sukinem. Bagi Jon, seni terindah adalah wajah Sukinem. Begitu juga dalam pikiran liarnya, gerak terindah dalam tari adalah gerak tubuh Sukinem. 
 
Dan kata-kata yang tersusun dalam syair yang menyentuh, serta menyeret hati adalah semburan kata dari mulut Sukinem. Mengapa Jon begitu tendensius dalam gemuruh hatinya melihat Sukinem? 
 
Jon, mengajak kepada yang bertanya untuk membayangkan suatu pernyataannya ini. Bayangkan lelaki mana yang tidak bergejolak hatinya, bila melihat gadis bermata sipit, pelopak mata yang cembung, dan hidung yang sedikit mancung? 
 
Bayangkan lagi, lelaki mana yang tidak ciut hatinya melihat wajah teduh Sukinem? Juga rambut Sukinem yang bergoyang-goyang merambat ke hati yang bergejolak? Layaknya ilalang yang bergoyang diterpa angin. 
 
Ai, Jon, ribuan bayangan dalam khayalanmu itu begitu mabuk sejadi-jadi. Jon, manusia yang dilanda gemuruh qolbu menjadikan kehidupan cinta sebagai khayalan. 
 
“Jon, cinta adalah kenyataan. Cinta bukan khayalan bangunlah dari khayalanmu, kejarlah aku,” mata Sukinem ketika melihat Jon, lalu Jon menginterpretasi simbol dari tatapan  mata Sukinem.

Pemimpin Tolol Bernama Kesot


Bagaimana mengetahui pemimpin tolol yang suka berperilaku kurang ajar? Melalui pemimpin bernama Kesot ketololan pemimpin dapat diketahui. Kesot merupakan pemimpin atau kepala suka, atau juga bisa disebut lurah di suatu kampung bernama Markotop.
 
Kampung itu berada di suatu desa berdekatan di perairan sungai. Banyak penghasilan yang  diperoleh warga setempat dari sumber daya alamnya (SDA).  Mulai dari perikanan, kelapa,  sagu,  sawah, dan SDA lainnya. Kampung itu memang paling terkenal masyarakatnya yang murah rezeki dari pada kampung sebelah. 
 
Terdapat 100 kartu keluarga penduduk di sana. Warga Markotop selain terkenal dengan murah rezeki, ternyata terkenal juga dengan julukan kampung cerewet alias suka sambat. 
 
Pada masa kepemimpinan lurah Kopet, budaya lambe turah masih sanggat kentel. Sepenuturan Jon, salah satu warga setempat masa kepemimpinan Kopet sanggat top markotop. Siapa saja warga yang mampu mengkritisi Kepemimpinan Kopet, sehingga dapat melahirkan kehidupan bermasyarakat yang adil nan sejahtera akan mendapatkan imbalan harta. 
 
Inilah mengapa warga Kampung Markotop lambe turah dan kampungnya sejahtera. Namun seiring waktu, Kopet meninggal dan Kesot maju menjadi lurah baru. 
 
Mimpi buruk warga Markotop menjadi kenyataan. Kesot lain halnya dengan kepemimpinan Kopet. Dia tidak mau warga Markotop lambe turah, alias mengkritisi kebijakannya. Maka Kesot menerbitkan  undang-undang pelarangan lambe turah. 
 
Walaupun, Kesot berasal dari warga sipil, Kesot tak mau ambil pusing akan hal itu. Selagi peraturan dia bisa membuat tubuh kerempeng menjadi  buncit dan anak-anak kenyang memakan barang haram. Apa pun perbuatan akan dilakukan. Sekalipun harga diri digadaikan oleh hasyrat iblis. 
 
Dengan adanya peraturan baru Kesot, banyak masyarakat masuk jeruji besi. Terdapat 70 warga dari 100 warga Markotop yang dijebloskan di jeruji besi. 30 warga akhirnya melihat sahabatnya bernasib naas, ia memutuskan mengunci hobi lambe turah. 
 
Tapi, lain halnya dengan Jon. Jon, mendesain gaya baru hobinya dengan mengutuk, menghardik, dan mencatat perbuatan tolol Kesot melalui tulisan. Sebab, sejarah akan mengetahui ketololan Kesot.

Menanti Kematian Pimpinan Kesot

Kampung Markotop semakin carut-marut saja semenjak di pimpin lurah Kesot. Sebabnya, pimpinan Lembaga Anti Pejabat Maling Uang Rakyat (LAPMUR)  di kampung Markotop makin menjadi-jadi sifat iblisnya. Pimpinan itu bernama Kolet yang dipercayai Kesot untuk melumpuhkan lembaga tersebut. 
 
Beberapa tahun belakangan ini, Kesot naik jabatan sebagai lurah menyebabkan berbagai peristiwa ganjil terus berdatangan di kampung Markotop. Salah satunya, kemunculan Kolet sebagai pimpinan terbaru di LAPMUR Kampung Markotop. 
 
Kolet hadir dengan lagak bajingan, dengan lagak tak tahu malu. Hanya hitungan hari, Kolet hadir sebagai benalu yang mengikat ranting pohon yang kokoh itu hingga rusak serusaknya. Walhasil hancurlah marwah dari lembaga yang diidola-idolakan rakyat Markotop.  
 
Bermula penghancuran yang dipimpin oleh Kolet dengan membuat Rancangan Undang-Undang Sinting (RUUS) sedari jauh-jauh hari. Yang berisikan penyingkiran pegawai berintegritas, totalitas dan nasionalisme.  Terdapat puluhan pegawai berintegritas tak lulus tes wawasan tentang nama-nama ikan itu. 
 
Dengan adanya tes wawasan perihal ikan itu, gerak lembaga itu memberantas para maling uang rakyat kampung Markotop semakin dekadensi. Catatan lembaga yang mengawasi kerja LAPMUR memberikan nilai E kepada kepemimpinan Kolet. Bukan main buruknya.
 
Bukan hanya lembaga pengawasan LAPMUR, rakyat Markotop pula memberikan nilai sanggat buruk. Bahkan ada rakyat yang menantikan waktu kematian pimpinan Kolet. Ia ingin melihat bagaimana Kolet mati, lalu ingin mengencingi kuburan Kolet yang penuh hina dan keparat dalam berperilaku. 
 
Menurut salah satu rakyat Markotop, banyak orang yang menantikan kematian Kolet. Karena dia telah merusak lembaga yang menjadi harapan mayoritas rakyat Markotop. Dia menyobek-nyobek hati dan harapan rakyat Markotop. 
 
Juga ada yang merambat bertanya dalam hatinya kepada keluarga Kolet, apakah anak, istri, dan sanak saudara tak malu memiliki laki-laki yang berperilaku bajingan itu dan hilang akal sehat? 
 
Kolet adalah gambaran dalam sejarah kehidupan umat manusia. Orang yang gagal mengendalikan diri, menghilangkan akal sehat, dan mencatatkan diri sebagai pelaku sejarah yang hina.

Dari Balik Jeruji Besi

Dari Balik Jeruji Besi
 
Hidup selalu begitu-begitu saja, ada dualisme di setiap kehidupan di bumi manusia. Ada yang berbahagia, pasti pula ada yang menderita di balik kebahagiaan orang lain. Jika di telisik negara Pewayangan selalu berkutat pada  dualisme itu-itu saja. 
 
Memang hal itu, ada satu permainan para dalang pewayang manusia di balik kehidupan semacam itu. Antara  tidak adanya sikap tanggung jawab, kelalaian, dan sikap iblis yang mengakar di tubuh para dalang dan wayang yang dikendalikan dalang. 
 
Surat kabar pada sore ini mengabarkan di Tigaraksa dekat dengan Batavia telah terjadi peristiwa yang memilukan dari balik jeruji besi. Peristiwa itu merengut nyawa puluhan tahanan penjarah.  Sih jago merah telah memeluk dengan warna cintanya, yaitu merah. 
 
Akibatnya orang-orang di dalam jeruji besi itu berubah menjadi abu. Kerangka tubuh sudah tidak berbentuk lagi. Amburadul!
 
Sedangkan pada tembok dinding, semula berwarna cerah kini beralih ke warna gelap. Artinya warna ini menandakan, bahwasanya kengerian telah terjadi sesuai makna gelap itu sendiri. Lantas bagaimana dengan struktur bangunannya? Bangunan penjarah sendiri, atapnya dibungkus dengan seng itu berjatuhan, dan kayu-kayu yang menopang atap menjadi arang. 
 
Rasa pedih, sakit, teriakan menggelegar meminta tolong di dalam jeruji besi ter gambarkan suasana pada saat itu. Mungkin juga, isak tangis puluhan tahan tak terkirakan lagi berapa banyak jumlah tertumpah. Harapan dan kepasrahan dua hal yang selalu menyelimuti puluhan tahanan yang terlelap sih jago merah. 
 
Sebab, hampir 2 jam lamanya sih jago merah itu bergelut di lapas. Bukan ini satu hal yang amat memilukan? Bagaikan orang yang sedang dikupas kulitnya menggunakan silet berjam-jam lalu diberikan jeruk nipis. Perih: sakit: tak tertahankan: mengerikan: memilukan. 
 
Tapi.... Itu kini tinggal sejarah saja. Mereka telah binasa, mereka telah tertidur selamanya. Dan catatan buruk hak asasi manusia saat ini telah tercatat kan di negara Pewayangan ini.

Sepintas Info Tentang Kemacetan

Sepintas Info Tentang Kemacetan
 
“Tuhan bersama orang-orang mumet yang masih sempat sisiran di tengah jalan macet.” Joko Pinurbo 
 
Semakin hari kehidupan di kota membosankan, dan menyebalkan. Tengok  saja, orang-orang entah ke mana arah dan tujuan akhirnya hanya  membuat jalanan macet. Sepanjang melintas jalan kota istimewa itu, hampir kemacetan tak terbendungkan lagi. Ai, menyebalkan kendaraan itu meniupkan polusi udara.
 
Menyengat, menusuk, dan memasuki paru-paru polusi udara ke tubuh setiap orang. Kota itu benar-benar telah beralih menjadi kota kemacetan dan polusi udara. Orang-orang menikmati kehidupan yang amburadul semacam  itu. Astaga!
 
Ajaib lagi, pekerja kantoran, muda-mudi pengembara cinta, orang-orang berpakaian mewah, dan orang dimabuk pekerjaan,  biasa-biasa saja dengan keadaan semacam itu. Aneh memang,  menengok orang-orang yang menikmati kehidupan jalanan masa kini alias macet.
 
Suatu ketika sore yang kelabu, di jalan Gejayan  orang-orang kantoran baru pulang dari pekerjaannya. Di jalan sempit beserta sepanjang dua kilo meter itu mulai dipenuhi kendaraan. Keadaan jalan saat itu macet total. Bunyi-bunyi klakson mulai beriringan  memekakkan gendang telinga.
 
“Tin, tin, tin,” bunyi klakson motor dan mobil di bangjo alias lampu  ambang dan ijo.
 
Tak hanya soal bunyi Klakson yang menjengkelkan. Ada pula, orang yang turun dari motor lalu berteriak dan memaki-maki kendaraan di depannya. Ibu-ibu yang berkendaraan sen ke kiri, tapi belok ke kanan menjadi persoalan jalanan macet kian rumit dan berbelit-belit juga.
 
Bunyi-bunyi alunan music yang diberikan salon sebesar lemari di pinggiran jalan, dan dinyanyikan dengan sok pd membuat pikiran menjadi kacau balau  juga. Rumit, menyebalkan, satu irama yang dirasakan kala terjebak di jalan macet. Lagi-lagi ai, orang-orang yang membuat jalanan macet  itu ditambah  dengan bermuka masam: semakin menyebalkan. 
 
Sepintas info tentang jalan yang macet, jalan orang-orang pada bermunculan  menjelma menjadi manusia aneh. Manusia yang berisik dan membuat jengkel.

Burung Oktober

Oktober, apa yang aku, Anda, atau kita semua, ketahui tentang bulan ini, apakah bulan tentang kelesuan hidup di setiap penghujung tahun? Apakah bulan yang menawarkan beberapa kali hujan di awal tanggal? Ataukah bulan itu hanya sekedar nama yang hadir tanpa memiliki makna di setiap tanggal-tanggalnya? 
 
Hari ini, tepat di bulan Oktober, pemuda itu melaju dengan kendaraan roda duanya. Dengan gejolak jiwa, dengan tak tahu arah, dan dengan diri yang tak kunjung berdamai atas cara roda kehidupan bermain. Kendaraan itu digaskannya, memasuki setiap jalan-jalan tikus, dan berpapasan dengan orang-orang.
 
Ia setir  kendaraan itu dengan kecepatan sanggat rendah, baginya dengan kecepatan demikian dapat merasakan setiap objek yang ia lihat. Lalu menjadi ingatan, cara demikian merupakan suatu bentuk penghargaan pada setiap perjalanan yang ia lalui. 
 
Walaupun memang, gejolak jiwanya yang tak kunjung meredam,  ia tetap menelusuri setiap lorong sempit di Yogyakarta. Mata dan pergerakan hatinya, bagaikan bunga yang disinar oleh matahari setelah hujan turun di bumi. Maksudnya, kala ia menatap setiap pergerakan manusia lakukan waktu di perjalanan itu membuat gejolak jiwanya sedikit meneduh. 
 
Suatu ketika, kendaraannya sudah sampai saja pada lampu pemberhentian jalan. Ia tengok burung-burung walet hinggap di setiap kabel tiang jalanan. Burung itu bersuara, bernyanyi dengan gayanya sendiri, dan berkumpul dengan sanak saudara burung.
 
Kemudian, ia bertanya-tanya mengapa burung itu hinggap di kabel dan datang di Yogyakarta pada bulan Oktober? Adakah maksud tertentu dengan hadirnya burung-burung ini? Pesan apakah yang ingin disampaikan burung pada manusia khususnya pada pemuda itu?
 
Pemuda itu, menatapnya, merasakan kehadiran burung di jalanan kota Yogyakarta. Ia bergembira, ia tahu apa maksud hadirnya burung yang menari-menari di atas kepalanya. Apakah pesan itu sesungguhnya?
 
Pemuda itu memejamkan mata, lalu dalam hatinya ia berdansa dengan dirinya sendiri. Ia berteriak dalam hati, dan mengatakan Oktober memberikan risalah pada burung kepadanya  bahwa hidup adalah luka yang tetap bisa dijalankan dengan menari di dalam jiwa.

Mengapa Keramaian Begitu Asing di Pikiranku

Ada sebuah pepatah mengatakan, kebiasaan hari ini adalah cerminan masa depan. Jono teringat pepatah itu, ketika ia melihat ada satu peristiwa yang memuakkan hadir di kehidupannya. Peristiwa itu adalah tentang kepalsuan kaum intelektual dalam bertindak, bersikap, dan berpikir. 
 
Kehidupan akademik yang semestinya, menurut Jono, untuk melakukan sebuah dobrakkan dalam berperilaku secara terarah,  dan mampu menghadirkan tanggung jawab secara moril. Baik tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun lingkungan. Kini tentang itu, hanya sebuah keniscayaan yang absurd. 
 
Tengok saja, kata Jono, peristiwa basa basi kaum intelektual di kehidupan akademik Jono belakangan ini banyak berbuat tidak jujur. Tidak ada nilai tanggung jawab, meninggalkan sebuah amanah hanya karena menganggap diri sudah melambung tinggi egonya. Atau kepala sudah besar bak batu; keras, dan berat. 
 
Akhirnya melahirkan sebuah sikap, sok, basa basi, dan berwatak feodal atau kolot. Jono menganggap mereka sebagai penerus peradaban dikemudian hari, hanya sebuah kepalsuan semata, tidak dapat diharapkan terlalu berlebihan. 
 
Tak lain dan tak bukan, dalam konteks ini, Jono menilai, gerusak gerusuk dalam berperilaku kaum intelektual dilingkungannya itu, dapat dinilai atau digambarkan masa yang akan datang  ketika mereka diberikan amanah. Apa yang diharapkan kepada intelek semacam itu? Apa jadinya peradaban ini ditangan mereka? Tanya Jono menggugat. 
 
Bayangkan lagi, bagaimana jadinya peradaban ini jika  dipimpin oleh intelek-intelek  semacam itu. Akankah peradaban ini semakin maju atau malah semakin merosot? 
 
Jono, beranggapan bahwa  di dalam dunia akademik telah banyak pembentukan-pembentukan mental-mental feodal. Intelektual  dilingkungannya itu hanya ingin mendapatkan Kehendak untuk berkuasa,  tapi kehendak untuk bertanggungjawab dan amanah hanya sebuah silat lidah semata. 
 
Sebuah potret peristiwa yang mengkonfirmasi Jono untuk mengucapkan ungkapan, sebagai berikut: “Kita telah menyaksikan kepalsuan di dalam perilaku kaum intelektual. Kaum intelektual itu hanya ingin kehendak berkuasa, tapi kehendak moril dibuangnya. Sebuah keniscayaan kehidupan yang dipalsukan."

Basa Basi Intelektual

Ada sebuah pepatah mengatakan, kebiasaan hari ini adalah cerminan masa depan. Jono teringat pepatah itu, ketika ia melihat ada satu peristiwa yang memuakkan hadir di kehidupannya. Peristiwa itu adalah tentang kepalsuan kaum intelektual dalam bertindak, bersikap, dan berpikir. 
 
Kehidupan akademik yang semestinya, menurut Jono, untuk melakukan sebuah dobrakkan dalam berperilaku secara terarah,  dan mampu menghadirkan tanggung jawab secara moril. Baik tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun lingkungan. Kini tentang itu, hanya sebuah keniscayaan yang absurd. 
 
Tengok saja, kata Jono, peristiwa basa basi kaum intelektual di kehidupan akademik Jono belakangan ini banyak berbuat tidak jujur. Tidak ada nilai tanggung jawab, meninggalkan sebuah amanah hanya karena menganggap diri sudah melambung tinggi egonya. Atau kepala sudah besar bak batu; keras, dan berat. 
 
Akhirnya melahirkan sebuah sikap, sok, basa basi, dan berwatak feodal atau kolot. Jono menganggap mereka sebagai penerus peradaban dikemudian hari, hanya sebuah kepalsuan semata, tidak dapat diharapkan terlalu berlebihan. 
 
Tak lain dan tak bukan, dalam konteks ini, Jono menilai, gerusak gerusuk dalam berperilaku kaum intelektual dilingkungannya itu, dapat dinilai atau digambarkan masa yang akan datang  ketika mereka diberikan amanah. Apa yang diharapkan kepada intelek semacam itu? Apa jadinya peradaban ini ditangan mereka? Tanya Jono menggugat. 
 
Bayangkan lagi, bagaimana jadinya peradaban ini jika  dipimpin oleh intelek-intelek  semacam itu. Akankah peradaban ini semakin maju atau malah semakin merosot? 
 
Jono, beranggapan bahwa  di dalam dunia akademik telah banyak pembentukan-pembentukan mental-mental feodal. Intelektual  dilingkungannya itu hanya ingin mendapatkan Kehendak untuk berkuasa,  tapi kehendak untuk bertanggungjawab dan amanah hanya sebuah silat lidah semata. 
 
Sebuah potret peristiwa yang mengkonfirmasi Jono untuk mengucapkan ungkapan, sebagai berikut: “Kita telah menyaksikan kepalsuan di dalam perilaku kaum intelektual. Kaum intelektual itu hanya ingin kehendak berkuasa, tapi kehendak moril dibuangnya. Sebuah keniscayaan kehidupan yang dipalsukan."

Mengapa engkau menangis?

Mengapa engkau menangis?
 
Kita tidak saling mengenal, kita tidak saling berbicara, tapi mengapa kita dipertemukan hanya untuk saling bersembunyi? Ada kepalsuan di antara kita, aku sebagai orang yang pemalu untuk mendekatimu, dan engkau  sungkan untuk mengenalku lebih dalam. Kita hanya bertemu pada tempat yang sama, namun sembunyi-sembunyi dalam lirikan mata satu sama  lainnya. 
 
Sebegitu pengecutnya diriku, hanya berani mencintaimu di dunia kata. Aku melukis wajahmu, memelukmu, dan menari bersamamu hanya di dunia kata. Apakah duniaku begitu pengecut semacam itu? Mengapa aku berbeda dengan orang lain perkara mencintai? Apakah aku telah tenggelam dalam tangisan-tangisan yang tak ada hentinya di lorong sunyi itu?
 
Dapatkah engkau menjemputku dilorong sunyi, mengajak aku berbicara, dan berjalan bersama di bawah air hujan? Aku ingin memelukmu guna melepaskan nestapa yang membelenggu diri. Tapi, aku hanya ranting pohon yang rapuh, tak ada nyali sejauh itu.
 
Mengapa engkau menangis? 
 
”Hai Zal, mengapa engkau meringkuk di bawah purnama yang hening ini?” tanya Andini
 
Suara itu tak asing bagi Azal, ia mengenali betul suara lembut dari sih gadis tersebut. Ia bangun dari ringkukan badan, mengusapkan air matanya, dan kemudian menyambut suara Andini.
 
‘’ Aku hanya hidup dalam pengasingan Andini, inilah duniaku,” Jawab Zal. 

Zal, sudah lama aku perhatikan engkau, kita hanya saling memandang satu sama lainnya. Tapi, tak ada obrolan yang dapat kita utarakan dalam tatapan itu. Inilah hari pertama bagi kita bercakap-cakap, kata Andini.

Mengapa engkau menangis? 

Andini, ruang  hati kita sebenarnya telah dipertemukan, tapi keberanian kita untuk mengutarakan itu sanggat nol. Mungkin inilah cinta yang nikmat, cinta yang sembunyi-sembunyi, serta cinta yang tak ada suaranya.

Selama ini kita hanya saling menatap dan saling mengunjungi tempat yang kita telusuri. Sebagai suatu kehendak rasa untuk menuntaskan hasyrat rindu yang tak terpenuhi.  Inilah pola percintaan kita beberapa windu ini. Sebuah keniscayaan dalam kesedihan dan kesendirian yang tak ada ujungnya antara aku dan engkau Andini.

Gadis itu tidak kecil lagi.

Gadis itu tidak kecil lagi.
 
Di matanya tersimpan goresan luka yang amat membekas, dari matanya juga ada semacam luka masa lalu yang selalu menghantui pikirannya sampai masa dewasa. Hingga pada masa sekarang, gadis berumur seperempat abad kurang sedikit itu tetap menyusun wajah yang ceria di depan teman-temanya. Walaupun, sebenarnya di balik wajah anggun gadis itu terdapat luka amat serius yang selalu mengikat batinya. 
 
Akan tetapi, gadis itu pandai menyembunyikan, layaknya seruling bambu yang bisa menghibur pendengar. Kendati, sebenarnya ada tangisan serius sang seruling bambu penghibur itu, ia terpisahkan oleh bambu-bambu lainnya. Gadis itu ada satu kemiripan dengan keluhan seruling bambu.
 
Kini gadis itu telah dewasa, telah bisa mengontrol diri, dan telah dapat menyesuaikan realitas kehidupan yang serba tak menentu. Walaupun memang juga, kadang kala realitas kehidupan sedikit banyak bermain secara brengsek. Gadis itu bisa berbicara apa atau mau melawan bagaimana di depan realitas? 
 
Gadis itu hanya dapat merombak cara berpikirnya dalam melihat satu permasalahan kehidupan.  Sehingga dengan perombakan gaya berpikir, gadis itu tidak kecil lagi, ia tumbuh layaknya bunga di musim semi. Kehadiran masa dewasanya dapat membuat kebahagiaan sang kekasih cinta pertamanya. 
 
Pada malam yang serba ceria, telah dilewati beberapa tahun belakangan di kehidupan anak muda pencari jati diri. Tiba-tiba gadis itu menceritakan satu pengalaman pahit perihal privasinya. Ia menceritakan satu gugatan batin kepada teman-temannya, ia menahan air mata, dan bahasa tubuhnya dipertontonkan dengan gaya tabah. 
 
Bicaranya layaknya seorang bijak, bicaranya memberikan pelajaran penting persoalan realitas kehidupan, dan bicaranya menghantarkan kebijaksanaan dalam melakoni sesuatu hal. Para pendengar dapat merasakan pengalaman pahit beberapa tahun yang harus dijalani sang gadis itu kala bercerita. 
 
Pada akhirnya melalui pengalaman pahit itu, gadis berumur hampir setengah abad itu telah menjadi sosok perempuan tangguh, punya nilai, dan punya satu kedewasaan mental yang pas. Kemudian,  dalam cerita-cerita akhir gadis itu memberikan senyuman pada realitas.

Ia yang Selalu Berpura-pura

Ia yang Selalu Berpura-pura 
 
Telah hilang kejujuran hidup, orang-orang telah dikekang oleh topeng yang bernama, kepalsuan dalam berperilaku. Aku menengoknya langsung pada kehidupan ramai tentang perilaku itu: orang-orang tertawa dengan keras, dan dengan bahasa tubuh yang serah rumit untuk dijelaskan. 
 
Mereka menertawakan ruang, mereka menertawakan orang lain, padahal sungguhnya mereka justru sedang menertawakan diri sendiri.  Aku menengok anak muda di zaman yang, ah, entah zaman apa itu, mungkin zaman yang banyak kepalsuannya. Perilaku yang basa-basi, dan sok memandang diri paling tinggi di keramaian itu. 
 
Apakah mereka sedang ada gejala psikologi, yang saya sebut menarik simpati lawan jenisnya? Lalu, akan menimbulkan efek perilaku yang tanpa terkontrolkah. Apakah bisa dikatakan juga pemuda itu sebenarnya sedang dilanda hasrat cinta yang tak ter tuntaskan? 
 
Kemudian, bagaimana kita melihat dan memberi makna terhadap perilaku anak muda zaman kontemporer? Apakah kita berani memberikan semacam satu sikap untuk berkata jujur atas ke tidak beresaan anak muda zaman sekarang? 
 
Di zaman yang serba labirin, kita disajikan semacam kesuntukan terhadap perilaku zaman yang diperankan oleh orang-orang secara sembrono. Hal itu berdasarkan tengokan terhadap perilaku, ya, ada jarak antara pemuda satu ke pemuda lainya. 
 
Mengapa kita hidup untuk berjarak? Mengapa kita tidak untuk saling mengenal? Mengapa kita menertawakan seseorang? Mengapa kita tidak mengajaknya tertawa bersama? Apakah kita telah hidup di zaman yang harus mengunggulkan diri sendiri, tapi menendang orang lain?
 
Kita hidup di zaman apa? Lantas bagaimana kita harus menyikap hal semacam itu? Dan mengapa kita kehilangan-kehilangan semacam satu kearifan hidup? Apakah hidup ini telah dihilangkan maknanya oleh manusia sendiri?
 
Aku menengok di keheningan diri, nun jauh melampaui kata jauh itu sendiri. Suatu keadaan ramai orang-orang yang kehilangan diri sendiri, dan oh, mengapa orang-orang bangga dengan kehidupan demikian itu? Apakah mereka akan masuk ke jebakan dunia, yaitu menjadi manusia umum, namun sepi terhadap diri sendiri.

Maka Berbicaralah Para Idiot Itu

Maka Berbicaralah Para Idiot Itu
 
Surat kabar sore hari itu mengabarkan bahwa telah terjadi unjuk rasa di berbagai provinsi yang dilakukan kalangan  sipil, mahasiswa, dan pelajar. Mereka menuntut berbagai hal kepada penguasa, seperti kesejahteraan maupun keadilan. Tapi sayangnya, tindakan unjuk rasa disikapi oleh para penguasa dengan sikap kurang ajar, alias kekerasan. 
 
Dalil yang digunakan para pemukul, yaitu karena sikap para demonstrasi yang memicu chaos. Padahal, kata surat kabar,  cikal bakal chos disebabkan gas air mata yang dilakukan para  pemukul itu. Apa boleh buat, mereka para penguasa ada saja dalil yang digunakan untuk membenarkan diri. Sikap ke tidak jujuran nan sikap terkutuk yang selalu melekat ditubuh mereka ketika menyikapi para unjuk rasa. 
 
Selain itu juga, kamerad besarnya melalui konferensi pers mengatakan dengan bahasa muslihat perihal unjuk rasa hari itu. Katanya pada media, demonstrasi boleh-boleh saja asal menggunakan tata krama jangan sampai buat gaduh. Kata dia lagi, negara kita kan menjunjung nilai-nilai sopan santun. 
 
Maka lihatlah dia para idiot itu berbicara, sejak kapan mereka begitu pandai menuturkan bahasa yang amat bersin dan suci itu?  Apakah bahasa itu pantas untuk mereka gunakan? Apakah bahasa itu sudi diucapkan oleh para idiot tersebut?
 
Hendaknya mereka berkaca di cermin, melihat muka, dan perilaku mereka. Berapa banyak ke tidak sopan mereka terhadap rakyat dan perilaku kurang ajar terhadap rakyat, alam, dan lain-lainnya? Maka sekali lagi, pantaskan mereka mengucapkan bahasa suci dan bersih itu? 
 
Telah banyak media, penelitian, dan rekaman jejak media mengabarkan kelakuan buruk mereka. Lantas hadirlah pertanyaan, apakah kata tata krama dan sopan santun pantas kita terima ketika negara hancur dibuat mereka?  
 
Lalu, tengoklah negeri Markotop itu benar-benar telah merosot jauh ke jurang. Mereka para pengendali dan penguasa menggunakan bahasa basa-basi untuk menutup kebusukan mereka. Juga suatu kehendak untuk membodohi rakyat, dan naasnya rakyat Markotop menolak untuk dibodohi para idiot itu. 

Sumber Video:

Yogyakarta di Malam Minggu: Aku Padamu

Yogyakarta di Malam Minggu: Aku Padamu 
 
Ambyar, kata itu terdengar begitu lantang di angkringan kang Jono yang diucapkan salah seorang pemuda berambut gondrong. Entah mengapa, setelah melihat hp pemuda itu tiba-tiba mengucapkan kata  ambyar. Adakah sebenarnya satu kemacetan hati pemuda di angkringan tadi? Sehingga, mengucapkan satu kata yang kerap dimaknai sebagai nestapa hati. 
 
Menelusuri jawaban atas pertanyaan itu, kang Jono bertanya kepada pemuda tersebut, mas memang seng ambyar iki opo? Pemuda itu diam, malu-malu tai kucing, dan menundukkan muka. Mbok yo dijawab to mas, ucap kang Jono lagi. 
 
Pemuda itu masih terdiam, dan justru malah menengok jalanan Yogyakarta di malam hari. Ia melihat dan berujar di dalam hati tentang Yogyakarta di malam minggu yang selalu membuat hatinya ambyar. Adalah ujaran tentang jalanan yang macet total. Jalan yang selalu dipenuhi oleh orang-orang mabuk asmara di malam minggu. 
 
Kemudian, diam-diam juga pemuda itu mengatakan tentang kang Angkringan yang ingin tahu sahaja permasalahan anak muda. Ingin tahu permasalahan ruang hati yang mesti tak boleh orang asing mengetahui secara utuh bahkan sedikit pun. Hati adalah ruang yang paling sakral, sebab di dalamnya ada sebuah harta karun. 
 
Sebabnya itu, bagi pemuda tersebut Yogyakarta di malam minggu membuat hatinya ambyar. Bukan hanya tentang mereka yang memenuhi jalanan Yogyakarta di malam minggu. Tapi, ada semacam hati yang masih tertinggal di Yogyakarta, ialah sebuah kenangan yang akan selalu membekas di hati. 
 
Begitulah Yogyakarta membentuk orang-orang yang datang ke kotanya. Ia pandai betul menaruh mantra ajaib untuk enggan segera pergi dari kota itu. Ada magnet yang disajikan Yogyakarta, terlebih pada malam minggu. 
 
Maka pemuda itu, berkata: Yogyakarta di malam minggu aku padamu. Karena pemuda itu merasa ada embusan angin segar Yogyakarta di malam minggu. Apalagi, orang-orangnya yang selalu menebar senyum sejauh mata memandang. Aduhai, senandung catatan kecil bersama cahaya lampu malam di Yogyakarta.

Di Bawah Hujan Gadis Itu Berdiam Diri

Di Bawah Hujan Gadis Itu Berdiam Diri
 
Menjelang sore awan hitam menyelimuti bumi Yogyakarta. Udara semula panas kini berubah menjadi dingin, angin-angin bertipuan siri berganti. Meniup buluh kuduk setiap orang di jalan. Pun orang-orang sudah dapat mengira bahwa hujan akan segerah turun.
 
Maka bersiaplah mereka untuk mengenakan payung dan jas hujan. Sedangkan anak-anak kecil bergembira manakala hujan akan turun, sebab bisa bermain air hujan dan bermain bola kaki. Anak kecil memang pandai dalam menciptakan kebahagiaan. 
 
Ketika hujan sudah turun, hujan memberhentikan hiruk pikuk aktivitas orang-orang. Kini bumi Yogyakarta benar-benar sepi, hanya ada beberapa kendaraan melintas. Manusia tenggelam dalam ratapan sunyi nan sepi. 
 
Di sisi para pedagang mulai sepi pengunjung,  mereka dihajar oleh sang hujan. Dipaksa oleh sang hujan untuk berteduh di belantara rumah orang dan meratapi kehidupan. Hujan adalah pendingin otak manusia. Hujan adalah mesin pemberhentian ekonomi. 
 
Hujan semakin deras menjatuhkan airnya, tak terhitung berapa banyak jumlah air yang dicurahkan ke bumi. Air mengalir begitu saja memenuhi jalan, lalu memasuki jalan-jalan sempit dan memasuki lubang-lubang kecil. Entah ke mana hujan akan bermuara. Yang pasti air akan kembali ke tanaman dan perut manusia. 
 
Aku lihat pula bunga memancarkan pesona kebugarannya, aku lihat pula daun-daun berjatuhan. Pohon-pohon menari-menari dengan pancaran senyuman. Aku lihat pula, debu-debu hilang seketika. 
 
Tetapi dari semua itu, ada yang menarik di mataku, yaitu seorang gadis yang berdiam diri di depanku. Ia duduk dengan takzimnya sembari menatap air hujan. Aku tak tahu pasti apa yang sedang ia rasakan dan pikirkan. Ia sangat anggun. 
 
Aku juga tak berani menatapnya begitu lama, hanya sekali-kali melihat. Bagiku mata perempuan, mata yang teramat tajam dan memesona. Sehingga mataku tak terlalu tahan untuk menatap. 
 
Aku hanya dapat mengira-ngira saja, barangkali gadis itu sedang tenggelam pada nostalgia masa lalunya. Masa kanak-kanak, masa percintaannya, masa di mana kebahagiaan dapat diciptakan dengan muda. Ah, gadis ini teramat lembut hati dan pikirannya.

Telefon Genggam

Telefon Genggam  
 
Telefon itu berdering, beberapa kali aku tak mengangkatnya, beberapa kali aku tak mengetahui bahwa nomorku sedang ditelefon. Apa boleh buat, memang hari-hariku kian tak menentu saja. Anggap saja, ada kesibukan  pergulatan antara diriku dan kesunyian. 
 
Tentu hal itulah sala satu penyebabnya, aku tak mengangkat telefon yang sedang berdering. Memang aku mengakui bahwa hidupku tentang kesendirian. Tentang kembali pada diri yang sejati, tapi sungguh pergulatan itu amat cape. Akankah aku kuat menjalankan? 
 
Kembali lagi kepada telefon genggamku, beberapa kali telefon itu berdering, akhirnya pada sore hari aku angkat jua. Suara itu tiba-tiba keluar, ada bahasa tertentu merujuk ke suatu topik yang ingin disampaikan sih penelepon. 
 
Ya, pesan itu meruntuhkan hatiku, pikiranku, dan rasa semangatku. Sahabatku sang penelepon,  yang sedari awal kuliah hingga mengetahui sedikit banyak tentang diriku sampai penghujung  perkuliahan ini tak akan bersama lagi berjuang bersama di Djogja. 
 
Ia tak mengabarkan terlebih dahulu padaku, bahwa ia pulang kampung tempo lalu hanya untuk sementara waktu saja, kemudian pulang lagi ke Djogja. Tapi, itu hanya bahasa kemarin sore, ia tidak lagi menjadi teman berbagi kelu di Djogja, ia tak lagi berangkat bersama ke tempat anak-anak kecil, dan aku tak lagi ke kostnya. 
 
Aku kembali ke ruang sunyi, ruang kesendirian ke mana saja aku mau bertempat. Jok motorku kini, hanya aku sendirilah yang menyetir bila berkunjung ke tempat anak-anak kecil. Tentu juga,  senandung headset dan musik aku putar kala menyetir motor sebagai kehendak melepas kesedihan.
 
Inikah perputaran kehidupan, mengapa ada pertemuan selalu juga ada perpisahan? Mengapa ada kebahagiaan pasti juga ada kesedihan? Apakah kita dipaksa atau membiasakan tentang perpisahan itu sendiri? Apakah tentang pengalaman ini sama dengan bunyi-bunyi sajak Joko Pinurbo; 

“Tuhan, ponsel saya
rusak dibanting gempa.
nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa adalah tidak ada
nomorMu.

Tuhan berkata:
Dan hanya itu satu-satunya nomornya
yang tak pernah kausapa.”

Kehendak Untuk Kebebasan

Kehendak Untuk Kebebasan  
 
Apakah aku tak berhak memiliki kebebasan? Apakah kebebasan itu hanya milik mereka yang bisa membeli segalanya dengan uang? Katakan kepadaku, apakah kebebasan itu milik mereka? Bukankah manusia dikutuk untuk menjadi bebas? Dengan bebas mereka bisa menari-nari di setiap deritaan-deritaan  kehidupan. 
 
Kata burung yang menyiulkan bunyinya kepada alam, kata angin yang menggoyangkan ilalang, dan kata sih kakek penjual buku di Taman Pintar Yogyakarta yang sedang membaca buku: apa enaknya hidup tanpa ada kebebasan? 
 
Lihatlah burung bagaimana jadinya bila ia tidak memiliki kebebasan, akankah ia bisa menyiulkan syair-syairnya dengan indah? Bagaimana jadinya pula kehidupan tanpa adanya kebebasan burung untuk menyiulkan syair-syairnya? Akankah keindahan kehidupan akan terasa leluasa jika burung tak lagi memiliki kebebasan? 
 
Tengok juga ilalang, bagaimana jadinya jika ia tidak memiliki kebebasan untuk bertumbuh. Akankah angin menghampirinya, lalu mengajak untuk menari-nari bersama? Akankah juga aku atau Anda bisa merasakan nikmatnya berada di antara angin dan ilalang? Lalu membacakan sajak-sajak kehidupan manusia yang terasingkan. 
 
Begitu juga dengan kakek penjual buku di Taman Pintar, Yogyakarta, lihatlah ia dalam diam yang bebas. Ia membaca sebuah buku, Orang Asing, karya Albet Camus. Bagaimana jadinya jika sih kakek tak memiliki kebebasan membaca? Sebagaimana Fernado Beaz, dibukunya Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa, mengatakan, motif seseorang membakar buku hanya perkara ideologis. Pada intinya, manusia itu hanya ingin membatasi kebebasan demi kebebasan dirinya.
  
Kemudian, bagaimana jadinya jika penghancuran buku di Museum Baghdad terjadi di toko buku sih kakek itu tadi? Akankah kakek bebas untuk bertulangan lagi antara pikiran, imajinasi, dan buku yang dibacanya? Bukankah  kesedihan sih kakek penjual buku itu berlarut-larut demi kebebasan orang lain? 
 
Bumi  manusia dengan persoalan pada dasarnya adalah dunia yang ingin memiliki kehendak kebebasan bagi dirinya masing-masing. Hanya saja, bagi sih A kebebasan sih B adalah kesesatan. Sedangkan bagi sih B,  pelarangan kebebasan adalah muslihat demi kebebasan sih A.

Amorfati Kesendirian

 
Kau lihat dari pojok warung kecil duduklah seorang anak muda itu. Ia diam mendengarkan lagu melalui headset, dan menatap jalanan ringroad. Ia termangu, ia sendirian, ia adalah manusia kesepian. Pikirannya bercabang-cabang entah menelusuri ke dunia semacam apa. Tak pernah jelas. 
 
Bagi pemuda itu, kehidupan semacam itu sering merepotkan pikirannya.Terlebih lagi, belakangan ini masa-masa memasuki pintu kedewasaan ada -ada saja fenomena yang membuat jengkel. Akhirnya, pemuda itu terasingi oleh kehidupan.
 
Apakah kehidupan ke terasingkan itu memuakan, cape, dan menguras energi? Bagi pemuda itu, ya, dunia orang asing penuh teka-teki dan labirin. Sebab, ia menilai dalam keterasingan  orang akan bertarung sedemikian dahsyat pada diri sendiri. Entah itu menang ataupun kalah. 
 
Selain itu, dunia keterasingan juga menghantarkan pada sikap untuk skeptisisme terhadap segala hal.Tak hanya orang lain, dirinya pribadi menjadi tempat untuk skeptisisme. Bagi pemuda itu, hanya dengan sikap demikian akan menghantarkan pada kehidupan Ja Sagen. 
 
Tentunya menjadi satu ke niscaya-an pemuda  itu senang bergelut pada kesunyian, senang bertemu dengan diri sendiri, ketimbang orang lain. Sebab, ia menilai lagi, bahwa bertemu pada diri sendiri tidak ditemukan kebohongan. 
 
Lain hal ketika di hadapan orang lain, banyak kepalsuan-kepalsuan yang dipertontonkan. Orang banyak menggunakan topeng demi mengajukan sebuah eksistensi kepalsuan sebagai kehendak mendapat pengakuan terhadap objeknya. Akhirnya orang semacam itu menipu diri sendiri. 
 
Oleh karenanya, pemuda itu menawarkan sebuah konsep kehidupan, yaitu amorfati. Walaupun konsep itu usang, tapi masih relevan dengan kondisi hari-hari ini. Dalam ajaran konsep itu, mencintai hidup, walaupun kehidupan itu menyebalkan dan amat tragedi.Ia tetap harus dicintai. 
 
Musababnya hanya dengan cara demikian, tragedi yang menghampiri dapat dijalankan  apa adanya. Selain itu juga, dengan menggunakan cara demikian dapat mencintai takdir sekaligus itu pahit. Tengoklah, bukankah pada masa bangsa kita dijajah, penuh tragedi, kepahitan, dan kelarutan dalam kesedihan: dan apakah nenek moyang kita tidak menjalankan konsep amorfati?

Saya Ingin

Saya Ingin 
 
Suatu sore di jalan Gejayan. Saya melihat ada bunga-bunga berjatuhan, tanyalah dalam bisik hatiku: adakah pesan bunga di akhir bulan Oktober? Mengapa ia berguguran, mengapa ia menyentuh air hujan, dan mengapa manusia tidak merasakan keelokan bunga itu. 
 
Saya pun heran mengapa saya lebih senang melihat bunga-bunga di pinggir jalan Gejayan ini. Saya juga tidak tahu pasti mengapa ada kesan tertentu dalam hati ketika melihat bunga-bunga yang cantik itu. 
 
Selain itu, kala sore di Gejayan, saya pun melihat burung-burung terbang dengan riang gembira. Walaupun, waktu itu air hujan turun rintik-rintik dengan suara merdunya. 
 
Lalu saya pun bertanya-tanya dalam diam yang fana: mengapa burung bisa menari dengan tawa dan gembira? Mengapa saya sulit mengikuti seperti burung yang menari dengan leluasa? 
 
Hatiku kosong, ragaku lemah, dan pikiranku terpenjara dari masa depan yang kerap menghantui. Sedangkan masa lalu pula yang siap selalu menari-nari untuk mengajak kembali. 
 
Bagaimana jadinya bila seorang seperti saya terjebak dalam dunia pikiran rumit manusia. Lalu terjebak pada  masa-masa yang harus terpenjara dalam dunia ketakutan. 
 
Saya ingin melepaskan dunia ke tidak berani yang membuat ketakutan-ketakutan tertentu itu. Saya ingin mencontoh burung di atas awan yang berani menari kapan pun. Saya ingin mencontoh bunga yang tetap menjadi elok walaupun telah terjatuh. 
 
Selama ini dunia itu tidak pernah ada sebelumnya, tapi dunia itu saya ingin menciptakannya. Untuk itu, saya ingin berusaha terlebih dahulu melepaskan rasa-rasa yang selalu menjadi hantu di kesendirian. 
 
Saya tak akan menceritakan dunia itu dalam tulisan ini, karena dunia itu telah ada di dalam setiap tubuh orang. Dunia itu akan tercipta dengan sendirinya kala waktu setiap orang merasakan sepi yang menjeratnya. Ia diam-diam dapat memeluk sepi yang menjadi candu. 
 
Beginilah dunia sepi, dunia yang tak ada habisnya untuk dituliskan. Dunia yang dapat diciptakan sendiri, biar lah engkau menari dengan sendirinya dalam sepi.

Jurnalisme Dalam Bungkus Tong Sampah

Jurnalisme Dalam Bungkus Tong Sampah 
 
Empat pemuda menelusuri jalan sunyi bernama jurnalisme. Kata salah seorang keempat pemuda itu, hanya dengan jurnalisme yang bermutu akan lahirlah peradaban yang bermartabat. Pemuda itu berdalil, jurnalisme belakangan ini banyak palsunya dan banyak menghamba pada kekuasaan.  Alhasil, banyak media mengaburkan kode etik dan ajaran-ajaran jurnalisme yang semestinya. 
 
Dengarlah bagaimana pemuda itu berargumen, jurnalisme di tingkat kampus belakangan ini banyak membawa embel-embel nama pers. Tapi, dalam praktiknya masih dikekang oleh pihak birokrat kampus, atau bahasa pemuda itu humas kampus. Pres semacam ini merupakan ancaman serius bagi peradaban, kata dia pada kawan-kawannya. 
 
Tak jauh berbeda dengan argumen sebelumnya, pemuda itu memberikan ajaran jalan sunyinya lagi. Katanya pada kawan-kawan, kita telah dibuat jengkel berulang kali oleh media besar. Media besar banyak menyiarkan berita tak jelas. 
 
Tengok saja, katanya melanjutkan, masalah artis dan masalah tetek bengek lainnya yang tak ada hubungannya dengan kepentingan publik malah berulang kali disebarkan. Apakah ini bukan suatu kemerosotan di dalam dunia jurnalisme? Tanya pemuda itu pada kawan-kawannya.
 
Kemudian, salah seorang kawan B bertanya kepada kawan C yang memaparkan jalan sunyinya itu. C, kalau menurut Anda apakah dunia jurnalisme sudah diludahi oleh mereka-mereka ini yang mengatas namakan pers? 
 
C menjawab, bukan hanya diludahi, tapi sudah diinjak-injakan sedemikian rupa oleh pecundang-pecundang itu. Jurnalisme dewasa ini bisa dikatakan juga,  dalam bungkus tong sampah. 
 
Jurnalisme sebagaimana mestinya menghamba kepada kepentingan publik, kepentingan orang yang terasingi dari kehidupan, dan kepentingan nilai-nilai kemanusiaan. Justru kini berbalik arah menjadi corong untuk menjaga tuannya melanggengkan status quo dan penindasan.  
 
Lalu, bagaimana kita melihat peradaban ini dari kaca mata Jurnalisme? Apakah Jurnalisme sudah diambang batas zamannya? Apakah jurnalisme akan membuka pintu peradaban yang etis? Apakah jurnalisme sudah ciut oleh kekuatan penguasa?

Izinkan Aku Memeluk Puisimu

Izinkan Aku Memeluk Puisimu

Malam itu puisimu terbit, aku membacanya berulang kali, tapi aku sedikit kesulitan memahami setiap bait-bait puisimu. Jujur aku katakan, aku membacanya hampir belasan kali sehari ini demi ingin menangkap apa yang sesungguhnya inginkan engkau sampaikan dalam puisi itu.
 
Namun, sepandai-pandainya manusia ia tidak dapat secara utuh memahami tentang rasa dan pikiran dari seseorang. Begitu juga diriku, tiada dapat memahami dalam puisimu yang begitu tajam. Bukan karena setiap diksi yang engkau pilih itu  lantas membuat aku tak dapat memahami. 
 
Melainkan lebih pada rasa dan kondisimu ketika menuliskan puisi itu. Inilah yang aku katakan, aku sulit menangkap puisimu malam itu. Aku mengira ketika membaca puisimu pelan-pelan, engkau sanggat berhati-hati dalam menuliskan puisimu. Sehingga, orang yang membacanya sulit untuk mengetahui maksudmu.
 
Selain itu, aku juga mengira engkau menulisnya dalam keadaan benar-benar sunyi yang berbunyi sembunyi. Mengapa aku dapatkan katakan demikian, ya, aku mengira diksi yang engkau gunakan adalah diksi yang memasuki jembatan sepi. Jembatan yang hanya ada engkau dan kata-kata.
 
Aku benar-benar tersungkur dan terjatuh di hadapan puisimu. Lihatlah aku hanya bisa mengira dan meraba-raba tentang puisimu yang aduhai dalam pikiran dan hatiku. Menusuk!
 
Bagaimana aku harus melepaskan puisimu dalam pikiran aku ini? Apakah aku telah kalah telak di hadapan puisimu yang tidak dapat aku paham itu? Adakah juga alternatif biar aku dapat memahami puisimu? Apakah aku benar-benar jatuh di hadapanmu, lalu memohon untuk engkau menerangkan maksud puisimu di puisi lainnya? 
 
Kita simpan saja pertanyaan itu di ruang pikiran kita masing-masing. Aku juga tak ingin memaksamu untuk membalasnya, aku hanya ingin menuliskan tentang puisimu malam itu saja, bagiku sudah cukup itu saja. 
 
 
Juga, aku hanya ingin meminta izin padamu, aku ingin memeluk puisimu. Memeluk setiap kata yang engkau ukir  menjadi cantik dan candu. Aku tersimpuh di kesunyian malam bersama puisimu.

Sejarah ditangan Rakyat Kecil

Sejarah ditangan Rakyat Kecil 
 
Dari banyaknya literatur sejarah, posisi rakyat kecil selalu terjepit oleh kepentingan para penguasa. Sejarah telah membuktikan dengan sendirinya rakyat kecil selalu menjadi tumbal kepentingan para penguasa. Padahal para penguasa ini hannyalah sekumpulan manusia, tapi nafsunya amat luar biasa tak terkira. 
 
Kita dapat tilik dalam beberapa dekade ini, masih saja terdapat peperangan antar negara. Namun, lagi-lagi yang menjadi tumbal dari peperangan itu rakyat kecil. Bagaimana dengan mereka para penguasa ketika mendengungkan peperangan? Mereka posisinya ada di atas kasur yang mewah, makan enak, dan bermain dengan sewaan pelacur ataupun germonya. 
 
Peradaban seolah-olah ditelah dipecundangi oleh mereka-mereka ini. Ketika mereka mendengungkan peperangan, mereka mengatakan lagi pada sejarah saya adalah pahlawan, saya adalah orang yang berjasa pada peradaban, dan bla, bla, bla...
 
Padahal kita mengetahui mereka ini hanya sekumpulan orang-orang hina, orang-orang pengecut, dan orang-orang yang tak tahu malu. Apakah kita mesti catat mereka dalam kertas-kertas kehidupan kita? Lalu kita menertawakan mereka dalam setiap tulisan-tulisan kita. 
 
Ah; rasanya kita mendapatkan angin segar dari surga, angin yang menghapuskan mereka dalam catatan sejarah yang telah terukir sebelumnya.  Sebagaimana yang diklaim dalam catatan itu sebagai manusia dewa. Itu hanya sebuah bualan sejarah semata. Bukankan ada ungkapan yang mengatakan, sejarah ditulis oleh pemenang? 
 
Maka kita rubah saja saat ini, sejarah yang ditulis pemenang itu kini telah dilucuti dan dibuang ke lautan. Mereka telah tenggelam dalam lautan dan tak terlihat lagi. Mereka telah hilang dalam sejarah, juga telah raib disapu ombak lautan. 
 
Sudah saatnya pula rakyat kecil berkuasa, sudah saatnya juga rakyat kecil menendang orang-orang segelintir ini jika macam-macam muslihatnya. Rakyat kecil adalah rajanya dari segelintir manusia yang sok berkuasa itu. Bukankah kita selama ini telah jemu terhadap perilaku para penguasa yang senaknya bertingkah laku? 
 
“Saat ini sejarah telah berbalik arah, rakyat kecillah sebagai pencatat sejarah peradaban.”

Aku tak Sama Lagi

Di Kota Jakarta itu aku terdiam di dalam kos. Rupanya aku sudah menjadi anak pendiam bukan main. Aku orang baru di Jakarta. Lebih lagi, di l...