Malam itu puisimu terbit, aku membacanya berulang kali, tapi aku sedikit kesulitan memahami setiap bait-bait puisimu. Jujur aku katakan, aku membacanya hampir belasan kali sehari ini demi ingin menangkap apa yang sesungguhnya inginkan engkau sampaikan dalam puisi itu.
Namun, sepandai-pandainya manusia ia tidak dapat secara utuh memahami tentang rasa dan pikiran dari seseorang. Begitu juga diriku, tiada dapat memahami dalam puisimu yang begitu tajam. Bukan karena setiap diksi yang engkau pilih itu lantas membuat aku tak dapat memahami.
Melainkan lebih pada rasa dan kondisimu ketika menuliskan puisi itu. Inilah yang aku katakan, aku sulit menangkap puisimu malam itu. Aku mengira ketika membaca puisimu pelan-pelan, engkau sanggat berhati-hati dalam menuliskan puisimu. Sehingga, orang yang membacanya sulit untuk mengetahui maksudmu.
Selain itu, aku juga mengira engkau menulisnya dalam keadaan benar-benar sunyi yang berbunyi sembunyi. Mengapa aku dapatkan katakan demikian, ya, aku mengira diksi yang engkau gunakan adalah diksi yang memasuki jembatan sepi. Jembatan yang hanya ada engkau dan kata-kata.
Aku benar-benar tersungkur dan terjatuh di hadapan puisimu. Lihatlah aku hanya bisa mengira dan meraba-raba tentang puisimu yang aduhai dalam pikiran dan hatiku. Menusuk!
Bagaimana aku harus melepaskan puisimu dalam pikiran aku ini? Apakah aku telah kalah telak di hadapan puisimu yang tidak dapat aku paham itu? Adakah juga alternatif biar aku dapat memahami puisimu? Apakah aku benar-benar jatuh di hadapanmu, lalu memohon untuk engkau menerangkan maksud puisimu di puisi lainnya?
Kita simpan saja pertanyaan itu di ruang pikiran kita masing-masing. Aku juga tak ingin memaksamu untuk membalasnya, aku hanya ingin menuliskan tentang puisimu malam itu saja, bagiku sudah cukup itu saja.
Juga, aku hanya ingin meminta izin padamu, aku ingin memeluk puisimu. Memeluk setiap kata yang engkau ukir menjadi cantik dan candu. Aku tersimpuh di kesunyian malam bersama puisimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar