Suatu sore di jalan Gejayan. Saya melihat ada bunga-bunga berjatuhan, tanyalah dalam bisik hatiku: adakah pesan bunga di akhir bulan Oktober? Mengapa ia berguguran, mengapa ia menyentuh air hujan, dan mengapa manusia tidak merasakan keelokan bunga itu.
Saya pun heran mengapa saya lebih senang melihat bunga-bunga di pinggir jalan Gejayan ini. Saya juga tidak tahu pasti mengapa ada kesan tertentu dalam hati ketika melihat bunga-bunga yang cantik itu.
Selain itu, kala sore di Gejayan, saya pun melihat burung-burung terbang dengan riang gembira. Walaupun, waktu itu air hujan turun rintik-rintik dengan suara merdunya.
Lalu saya pun bertanya-tanya dalam diam yang fana: mengapa burung bisa menari dengan tawa dan gembira? Mengapa saya sulit mengikuti seperti burung yang menari dengan leluasa?
Hatiku kosong, ragaku lemah, dan pikiranku terpenjara dari masa depan yang kerap menghantui. Sedangkan masa lalu pula yang siap selalu menari-nari untuk mengajak kembali.
Bagaimana jadinya bila seorang seperti saya terjebak dalam dunia pikiran rumit manusia. Lalu terjebak pada masa-masa yang harus terpenjara dalam dunia ketakutan.
Saya ingin melepaskan dunia ke tidak berani yang membuat ketakutan-ketakutan tertentu itu. Saya ingin mencontoh burung di atas awan yang berani menari kapan pun. Saya ingin mencontoh bunga yang tetap menjadi elok walaupun telah terjatuh.
Selama ini dunia itu tidak pernah ada sebelumnya, tapi dunia itu saya ingin menciptakannya. Untuk itu, saya ingin berusaha terlebih dahulu melepaskan rasa-rasa yang selalu menjadi hantu di kesendirian.
Saya tak akan menceritakan dunia itu dalam tulisan ini, karena dunia itu telah ada di dalam setiap tubuh orang. Dunia itu akan tercipta dengan sendirinya kala waktu setiap orang merasakan sepi yang menjeratnya. Ia diam-diam dapat memeluk sepi yang menjadi candu.
Beginilah dunia sepi, dunia yang tak ada habisnya untuk dituliskan. Dunia yang dapat diciptakan sendiri, biar lah engkau menari dengan sendirinya dalam sepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar