Senin, 10 Januari 2022

Amorfati Kesendirian

 
Kau lihat dari pojok warung kecil duduklah seorang anak muda itu. Ia diam mendengarkan lagu melalui headset, dan menatap jalanan ringroad. Ia termangu, ia sendirian, ia adalah manusia kesepian. Pikirannya bercabang-cabang entah menelusuri ke dunia semacam apa. Tak pernah jelas. 
 
Bagi pemuda itu, kehidupan semacam itu sering merepotkan pikirannya.Terlebih lagi, belakangan ini masa-masa memasuki pintu kedewasaan ada -ada saja fenomena yang membuat jengkel. Akhirnya, pemuda itu terasingi oleh kehidupan.
 
Apakah kehidupan ke terasingkan itu memuakan, cape, dan menguras energi? Bagi pemuda itu, ya, dunia orang asing penuh teka-teki dan labirin. Sebab, ia menilai dalam keterasingan  orang akan bertarung sedemikian dahsyat pada diri sendiri. Entah itu menang ataupun kalah. 
 
Selain itu, dunia keterasingan juga menghantarkan pada sikap untuk skeptisisme terhadap segala hal.Tak hanya orang lain, dirinya pribadi menjadi tempat untuk skeptisisme. Bagi pemuda itu, hanya dengan sikap demikian akan menghantarkan pada kehidupan Ja Sagen. 
 
Tentunya menjadi satu ke niscaya-an pemuda  itu senang bergelut pada kesunyian, senang bertemu dengan diri sendiri, ketimbang orang lain. Sebab, ia menilai lagi, bahwa bertemu pada diri sendiri tidak ditemukan kebohongan. 
 
Lain hal ketika di hadapan orang lain, banyak kepalsuan-kepalsuan yang dipertontonkan. Orang banyak menggunakan topeng demi mengajukan sebuah eksistensi kepalsuan sebagai kehendak mendapat pengakuan terhadap objeknya. Akhirnya orang semacam itu menipu diri sendiri. 
 
Oleh karenanya, pemuda itu menawarkan sebuah konsep kehidupan, yaitu amorfati. Walaupun konsep itu usang, tapi masih relevan dengan kondisi hari-hari ini. Dalam ajaran konsep itu, mencintai hidup, walaupun kehidupan itu menyebalkan dan amat tragedi.Ia tetap harus dicintai. 
 
Musababnya hanya dengan cara demikian, tragedi yang menghampiri dapat dijalankan  apa adanya. Selain itu juga, dengan menggunakan cara demikian dapat mencintai takdir sekaligus itu pahit. Tengoklah, bukankah pada masa bangsa kita dijajah, penuh tragedi, kepahitan, dan kelarutan dalam kesedihan: dan apakah nenek moyang kita tidak menjalankan konsep amorfati?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku tak Sama Lagi

Di Kota Jakarta itu aku terdiam di dalam kos. Rupanya aku sudah menjadi anak pendiam bukan main. Aku orang baru di Jakarta. Lebih lagi, di l...