Senin, 10 Januari 2022

Telefon Genggam

Telefon Genggam  
 
Telefon itu berdering, beberapa kali aku tak mengangkatnya, beberapa kali aku tak mengetahui bahwa nomorku sedang ditelefon. Apa boleh buat, memang hari-hariku kian tak menentu saja. Anggap saja, ada kesibukan  pergulatan antara diriku dan kesunyian. 
 
Tentu hal itulah sala satu penyebabnya, aku tak mengangkat telefon yang sedang berdering. Memang aku mengakui bahwa hidupku tentang kesendirian. Tentang kembali pada diri yang sejati, tapi sungguh pergulatan itu amat cape. Akankah aku kuat menjalankan? 
 
Kembali lagi kepada telefon genggamku, beberapa kali telefon itu berdering, akhirnya pada sore hari aku angkat jua. Suara itu tiba-tiba keluar, ada bahasa tertentu merujuk ke suatu topik yang ingin disampaikan sih penelepon. 
 
Ya, pesan itu meruntuhkan hatiku, pikiranku, dan rasa semangatku. Sahabatku sang penelepon,  yang sedari awal kuliah hingga mengetahui sedikit banyak tentang diriku sampai penghujung  perkuliahan ini tak akan bersama lagi berjuang bersama di Djogja. 
 
Ia tak mengabarkan terlebih dahulu padaku, bahwa ia pulang kampung tempo lalu hanya untuk sementara waktu saja, kemudian pulang lagi ke Djogja. Tapi, itu hanya bahasa kemarin sore, ia tidak lagi menjadi teman berbagi kelu di Djogja, ia tak lagi berangkat bersama ke tempat anak-anak kecil, dan aku tak lagi ke kostnya. 
 
Aku kembali ke ruang sunyi, ruang kesendirian ke mana saja aku mau bertempat. Jok motorku kini, hanya aku sendirilah yang menyetir bila berkunjung ke tempat anak-anak kecil. Tentu juga,  senandung headset dan musik aku putar kala menyetir motor sebagai kehendak melepas kesedihan.
 
Inikah perputaran kehidupan, mengapa ada pertemuan selalu juga ada perpisahan? Mengapa ada kebahagiaan pasti juga ada kesedihan? Apakah kita dipaksa atau membiasakan tentang perpisahan itu sendiri? Apakah tentang pengalaman ini sama dengan bunyi-bunyi sajak Joko Pinurbo; 

“Tuhan, ponsel saya
rusak dibanting gempa.
nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa adalah tidak ada
nomorMu.

Tuhan berkata:
Dan hanya itu satu-satunya nomornya
yang tak pernah kausapa.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku tak Sama Lagi

Di Kota Jakarta itu aku terdiam di dalam kos. Rupanya aku sudah menjadi anak pendiam bukan main. Aku orang baru di Jakarta. Lebih lagi, di l...