“Tuhan bersama orang-orang mumet yang masih sempat sisiran di tengah jalan macet.” Joko Pinurbo
Semakin hari kehidupan di kota membosankan, dan menyebalkan. Tengok saja, orang-orang entah ke mana arah dan tujuan akhirnya hanya membuat jalanan macet. Sepanjang melintas jalan kota istimewa itu, hampir kemacetan tak terbendungkan lagi. Ai, menyebalkan kendaraan itu meniupkan polusi udara.
Menyengat, menusuk, dan memasuki paru-paru polusi udara ke tubuh setiap orang. Kota itu benar-benar telah beralih menjadi kota kemacetan dan polusi udara. Orang-orang menikmati kehidupan yang amburadul semacam itu. Astaga!
Ajaib lagi, pekerja kantoran, muda-mudi pengembara cinta, orang-orang berpakaian mewah, dan orang dimabuk pekerjaan, biasa-biasa saja dengan keadaan semacam itu. Aneh memang, menengok orang-orang yang menikmati kehidupan jalanan masa kini alias macet.
Suatu ketika sore yang kelabu, di jalan Gejayan orang-orang kantoran baru pulang dari pekerjaannya. Di jalan sempit beserta sepanjang dua kilo meter itu mulai dipenuhi kendaraan. Keadaan jalan saat itu macet total. Bunyi-bunyi klakson mulai beriringan memekakkan gendang telinga.
“Tin, tin, tin,” bunyi klakson motor dan mobil di bangjo alias lampu ambang dan ijo.
Tak hanya soal bunyi Klakson yang menjengkelkan. Ada pula, orang yang turun dari motor lalu berteriak dan memaki-maki kendaraan di depannya. Ibu-ibu yang berkendaraan sen ke kiri, tapi belok ke kanan menjadi persoalan jalanan macet kian rumit dan berbelit-belit juga.
Bunyi-bunyi alunan music yang diberikan salon sebesar lemari di pinggiran jalan, dan dinyanyikan dengan sok pd membuat pikiran menjadi kacau balau juga. Rumit, menyebalkan, satu irama yang dirasakan kala terjebak di jalan macet. Lagi-lagi ai, orang-orang yang membuat jalanan macet itu ditambah dengan bermuka masam: semakin menyebalkan.
Sepintas info tentang jalan yang macet, jalan orang-orang pada bermunculan menjelma menjadi manusia aneh. Manusia yang berisik dan membuat jengkel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar