Hari ini, tepat di bulan Oktober, pemuda itu melaju dengan kendaraan roda duanya. Dengan gejolak jiwa, dengan tak tahu arah, dan dengan diri yang tak kunjung berdamai atas cara roda kehidupan bermain. Kendaraan itu digaskannya, memasuki setiap jalan-jalan tikus, dan berpapasan dengan orang-orang.
Ia setir kendaraan itu dengan kecepatan sanggat rendah, baginya dengan kecepatan demikian dapat merasakan setiap objek yang ia lihat. Lalu menjadi ingatan, cara demikian merupakan suatu bentuk penghargaan pada setiap perjalanan yang ia lalui.
Walaupun memang, gejolak jiwanya yang tak kunjung meredam, ia tetap menelusuri setiap lorong sempit di Yogyakarta. Mata dan pergerakan hatinya, bagaikan bunga yang disinar oleh matahari setelah hujan turun di bumi. Maksudnya, kala ia menatap setiap pergerakan manusia lakukan waktu di perjalanan itu membuat gejolak jiwanya sedikit meneduh.
Suatu ketika, kendaraannya sudah sampai saja pada lampu pemberhentian jalan. Ia tengok burung-burung walet hinggap di setiap kabel tiang jalanan. Burung itu bersuara, bernyanyi dengan gayanya sendiri, dan berkumpul dengan sanak saudara burung.
Kemudian, ia bertanya-tanya mengapa burung itu hinggap di kabel dan datang di Yogyakarta pada bulan Oktober? Adakah maksud tertentu dengan hadirnya burung-burung ini? Pesan apakah yang ingin disampaikan burung pada manusia khususnya pada pemuda itu?
Pemuda itu, menatapnya, merasakan kehadiran burung di jalanan kota Yogyakarta. Ia bergembira, ia tahu apa maksud hadirnya burung yang menari-menari di atas kepalanya. Apakah pesan itu sesungguhnya?
Pemuda itu memejamkan mata, lalu dalam hatinya ia berdansa dengan dirinya sendiri. Ia berteriak dalam hati, dan mengatakan Oktober memberikan risalah pada burung kepadanya bahwa hidup adalah luka yang tetap bisa dijalankan dengan menari di dalam jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar