Lentera-lentera malam kerap hadir dalam bayangan kenangan. Lentera itu terang benderang walaupun kegelapan lebih banyak dari pada cahaya lentera. Dahulu, kampung tempatku singgah dan dibesarkan barang sampai tamat Sekolah Dasar belum ada listrik hanya menggunakan lentera masyarakat menerangi kesunyian malam.
Kini, gambaran cahaya lentera itu dan kenangan sederhana itu hanya sebagai kenangan yang ada dalam imajinasi pikiran. Sedangkan hati, hanya mencoba merasa akan kehadiran lentera dan kenangan itu pada masa kini. “Masa kecil memang paling indah untuk dikenang,” begitulah hatiku berujar.
Orang-orang semacam diriku ini hanya dapat mengingat, bernostalgia, dan tersenyum sendiri dalam lautan kesunyian. Tak terkecuali, air-air gelabah juga menjadi teman bercerita teramat baik di lautan sunyi tersebut. Kadang-kadang pula, merenungi sepak terjang kehidupan yang telah dilalui. Entah itu tentang kepahitan, kesedihan, kebahagiaan, kerinduan, dan semacamnya.
“Hidup adalah menerima takdir.” Sepak terjang kehidupan telah aku lalui dalam kurun 9 tahun ini, ber-musafir dan menyelami dunia kesendirian. Telah aku selami, telah aku rasakan, telah aku coba bertahan. Terima kasih untuk diriku telah menerima takdir.
Tak ada ucapan keistimewaan atau hal lainnya untuk aku astu pada diriku. Aku hanya berbisik ketika ada di atas permukaan air Rowo Jombor kepada diri sendiri, “selamat bertambah usia diriku.” Ucapan sederhana dengan buluh-buluh merinding. Aduhai, teramat kokoh jiwamu sampai-sampai sudah tumbuh dan mekar hidup seperempat abad kurang di muka bumi ini.
Maka dengan ini, tidak banyak kehendak ketika bertambah usia ini, tetaplah tumbuh dan mekar. Seperti bunga yang bisa mekar dan indah di musim apa sahaja. Laluilah hidup dengan keindahan niscaya keharuman akan mengharumi diri sendiri. Dan tentunya sekitar pula.
Pada titik akhir, lentera kenangan akan tetap menyalah dengan sendirinya. Menyalah dalam kerinduan yang menggebu-gebu, menyala dalam ruang hati. Lentera malam dan kesunyian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar