Senin, 10 Januari 2022

Suara Ombak dan Suara Hati

Suara Ombak dan Suara Hati

Angin di pantai begitu deras, pohon-pohon turut serta bergoyang, dedaunan satu persatu berjatuhan, bagaimana dengan hatiku? Apakah ia turut serta mengikuti irama angin, dan suara gemuruh ombak? 

Hati jawablah. Hati bersuaralah. Mengapa engkau diam? 

Hati tempat paling sakral yang dimiliki oleh manusia. Walaupun ia terletak di dalam tubuh, tak terlihat secara jelas tetapi hati maha besar. Maha besar kesakitannya, maha besar rasa rindunya, dan hati ruang cinta manusia. Sekaligus juga tempat penyembuh paling mujarab. 

Bagaimana hati bisa membuat kerinduan? Bagaimana hati bisa saling mengikat kedua insan yang awalnya tak mengenal? Lantas, di mana letak cinta itu sesungguhnya? 

Aku menemukan dialog cinta yang sedang diperankan kedua insan manusia. Begitu dahsyat kala memperhatikan teater mereka, hanya dua insan yang memainkan. Dan, musiknya langsung dimainkan oleh gemuruh suara ombak, angin pantai, serta penontonnya para pepohonan. 

Di dalam keheningan aku menemukan suatu keindahan. Di dalam keramaian aku belum tentu dapat menangkap dialog alami semacam itu. 

Ketika, tasbih-tasbih cinta mulai dibunyikan. Ketika alam sudah memainkan perannya. Hanya hati yang tenang dapat menangkap dan berdialektika langsung dengan cinta. 

Aku tidak ingin menggagap bahwa cinta hanya pokok hubungannya antara manusia dan manusia. Selebihnya, bukan cinta: anggapan semacam itu sudah begitu berevolusi di zaman saat ini. Bukankah begitu anggapan secara klise? 

Aku ingin bercinta dengan alam, mendengarkan suara-suara gemuruh ombak, ditemani pepohonan yang rindang. Dan kicauan burung-burung di atas. 

Begitu hidup penuh dengan pemberian-pemberian yang baik. Hanya saja, bagaimana mana manusia memosisikan diri saja. 

Selembar tulisan aku titipkan pada angin. Untuk menyampaikan langsung salam rinduku pada ia yang telah memberikan keindahan hidup. 

Maha elok hidup
Maha besar cinta itu
Mengapa manusia tidak ingin memiliki cinta? Ia lebih memilih kehancuran hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku tak Sama Lagi

Di Kota Jakarta itu aku terdiam di dalam kos. Rupanya aku sudah menjadi anak pendiam bukan main. Aku orang baru di Jakarta. Lebih lagi, di l...