Meringkuk duduknya, sendirian ia berdiam diri, dan hanya sunyi temannya. Memasuki di penghujung bulan September ia dan pergulatan tentang diri.
Di ujung sendok teh bulan September, ia masukkan ke dalam mulut dengan tenang dan gembira. Tiada teman atau seseorang waktu itu. Apalagi kekasih. Barangkali itu memang dunianya.
Kendati, dunianya berselimutkan kesunyian. Ia masih tetap bisa bergembira dan menjalankan kehidupan. Karena dunia begituan, menghantarkan dirinya kepada refleksi kehidupan.
Dunia itu berisikan soal percakapan pada diri. Dunia yang kini sudah tiada diminati oleh banyak orang. Hanya dunia pengasingan. Juga mana mungkin orang mau memasuki dunia begituan?
Orang-orang lebih bersenang diri pada dunia kebisingan. Dunia yang penuh tendang menendang soal kehidupan.
Menyelami kesendirian, artinya menyelami realitas yang berlawanan. Ia harus berani menerima kata banyak orang, dikutuk oleh realitas kehidupan sehingga bermuara kepada kesendirian.
Walaupun memang, di dalam dirinya terdapat penolakan pandangan demikian. Ia menolak pandangan itu, sebab dunianya bagaikan sesendok teh di penghujung bulan September.
Udara yang dingin, embusan angin segar, kicauan burung, segarnya tumbuhan, dan mekarnya bunga di penghujung bulan September. Semakin menyegarkan kala memasuki sesendok teh hangat ke mulut.
Inilah dunianya, ketenangan pikiran dan hati. Ia memulai menciptakan dunianya sendiri. Dunia yang berlawan, dan dunia yang sedapat mungkin untuk menendang tipu muslihat diri sendiri.
Memasuki penghujung bulan September. Teh hangat pada sore itu, sepiring kecil pisang goreng, dan merpati putih di depan matanya.
Bagaikan sekuntum mawar dipetik salah seorang gadis muda kepada dirinya. Dalam realitas kehidupan nyata. Maka berbahagialah dirinya dalam musafir kehidupan.
Kini, bunyi rintik-rintik hujan telah menyetubuhi raganya. Wajahnya menatap ke langit, ia melihat kegelapan langit telah menampakkan diri. Artinya, langit memberikan simbol waktunya manusia menyelami dunia kesunyian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar