Kamis, 24 Februari 2022

Kardiem Pemimpin Mabuk Perempuan


“Lingkungan yang tak sehat selalu membawa kehidupan menjadi suram bahkan membunuh.” 


Suatu sore di kampung Marketop menyelenggarakan pertemuan kawula muda. Dalam pertemuan itu didesain dengan istilah keren, yaitu rapat. Istilah yang digunakan sebagai maksud untuk membahas persoalan penting dan mendesak secara bersama. 


Memang betul diksi rapat menjadikan pemahaman terhadap pertemuan itu sebagai hal yang urgensi. Kendati, fakta lapangan tak sesuai dengan makna rapat itu sendiri. Kalau bisa dikatakan sekedar meminjam istilah saja tanpa mengetahui apa sebenarnya dari istilah tersebut. 


Hal ini sendiri seperti halnya kuliah tanpa tahu maksud dari kuliah itu sendiri. Dia sekedar kuliah tanpa tahu harus mengerjakan apa saja dalam kuliah. Walhasil, tak paham terhadap diri apalagi orang lain. 


Mula-mula rapat itu dibuka oleh pimpinan kampung Marketop, yaitu Kardiem. Kardiem menggunakan komunikasi satu arah dalam rapat tersebut sampai akhir rapat. Bagi dia, pemimpinlah yang layak berbicara dan didengarkan. 


Dia menganggap mulut dan pemikirannya lah yang paling keren bin beken. Sebaliknya, yang lainnya hanya sebagai pelengkap di rapat gadungan tersebut. Kardiem di posisi ini tampak jelas sedang membual berbusa-busa seperti orang gila atau stres di jalanan. 


Patutlah sekali lagi mempertanyakan kualitas lulusan perguruan tinggi di pikiran pimpinan kampung Marketop. Apakah Kardiem layak menjadi pemimpin? Apakah Kardiem orang yang waras atau justru mengalami gangguan kejiwaan? 


Dan, mempertanyakan pula terhadap akal bulus dia yang kerap mabuk dengan dunia perempuan malam. Sehingga, membuat akal sehat dia menjadi dekaden. Terbukti dengan kualitas dia memimpin rapat yang tak paham dan terus mengulangi itu-itu saja. 


Dia tak paham menjadi seorang pemimpin. Semestinya, dalam rapat itu dia melakukan komunikasi dua arah. Sehingga, rapat berjalan dengan baik dan tercipta iklim komunikasi yang baik. 


Karena itu, patutlah sekali lagi untuk mengatakan bahwa Kardiem tak paham cara memimpin dan sibuk dengan dunia perempuan. Sehingga membuat dia mabuk dan teler terhadap perempuan. Duh. 



Bagai Menjilat Ludah Sendiri

 Ada peribahasa mengatakan bagai menjilat ludah sendiri. Peribahasa ini memang terkesan sederhana, tapi memiliki tafsiran mendalam. Semisal, dapat dibenturkan dengan orang yang berlaku hipokrasi terhadap pernyataan dan perilakunya. 


Kita dapat mengambil contoh dalam kehidupan sehari-hari. Sebut saja contoh kasus Kesot yang sedang melakukan perbincangan dengan Darmin. Kesot, dalam perbincangan itu menceritakan kepada Darmin bahwa dia tidak menyukai Sulistri. 


Kesot memiliki alasan tidak menyukai Sulistri karena ia melihat Sulistri sering cerewet atau bermulut besar. Selain itu juga, menurut Kesot, Sulistri kerap mengatur-ngatur orang lain termasuk dirinya, yang semestinya bukan urusan atau pekerjaan dia. 


Namun, seiring waktu Kesot mulai menampakan tabiat aslinya. Ya, Kesot bagaikan buah-buahan yang bagus dan manis di luar. Ternyata itu hanya bungkus luarnya saja, di dalam diri Kesot terdapat kebusukan perilaku. Seperti halnya buah yang dijual bertumpukan pasti ada saja buah yang busuk tertimbun. 


Sama halnya dengan Kesot mengingkari pernyataan dan sikap sebelumnya. Dia menelan air ludah sendiri alias dia saat ini justru menjadi anjingnya Sulistri. Ke mana-mana berlaku manis dan bermesraan pada Sulistri. 


Cerita Kesot dan Sulistri ini tentu ada pelajarannya, bahwa apa saja yang dikatakan oleh orang lain terhadap diri jangan begitu dipercayai. Terkadang ucapan itu memikat dan manis diawal, tapi pahit di pertengahan atau diakhir. 


Kemudian juga, bukankah cerita itu sesuai dengan ilmu pengetahuan yang mengajarkan untuk selalu berlaku skeptisme terhadap segala hal? Sehingga, tidak terjebak dengan muslihat-muslihat realitas. 


Dengan begitu, pikiran dan perilaku diri mampu untuk tidak bertabiat hipokrisi atau menjilat ludah sendiri. Gitu. 






Senin, 14 Februari 2022

Perempuan di Bar Pasar Kembang


Udara malam memeluk tubuh perempuan muda itu. Pakaian yang digunakan perempuan itu terlihat cukup ketat. Sehingga bentuk dari tubuhnya terlihat begitu mempesona. Sampai-sampai angin malam memeluk tubuh indah itu. 

Perempuan itu berjalan sendiri melintas bekas-bekas hujan. Ia memperhatikan dari langkah kaki terdapat pantulan cahaya dari gedung-gedung tua perkotaan.   

Sejauh mata memandang, gedung tua itu sedikit dapat mengobati dari rasa dingin malam ini. 


Perkenalkan nama perempuan itu Izwa. Ia merupakan gadis muda yang sedang bergelut di kota orang lain atau bahasa lain anak rantau. Izwa di malam mencekam dan menusuk itu menuju ke bar murah di dekat pasar kembang. 


Malam itu ia sedang frustasi, stres, dan mengalami gangguan mental. Dengan keadaan itu, ia memilih untuk menyelesaikan di meja bar sembari dengan tuangan wiski dari resepsionis berulang kali. 


“Bang, tambah lagi satu botol Wiski,” ujar Izwa kepada resepsionis. 


“Neng, ini sudah botol ketiga loh, bener mau buka botol lagi?” ujar resepsionis berwajah sendu.  


“Iya gak papa buka saja, aku lagi stres dan ingin aku tuangkan semua permasalahan di dalam minuman ini,” timpal Izwa terbata-bata  mengikuti efek dari irama minuman itu. 


Tak banyak bicara dan basa basi resepsionis itu melakukan apa yang diminta oleh Izwa. Sebab, bagi resepsionis pelanggan adalah ratu. Melawan kehendak ratu artinya bekerja tidak elok. 


Sementara di sisi Izwa saat ini, ia telah terseret oleh efek-efek minuman itu. Ia tak begitu sadarkan diri sepenuhnya. Ia telah mengalami halusinasi tinggi. 


Dalam halusinasi itu, ia sedang berperang dengan frustasi terhadap masa depan, terhadap kecemasan cinta yang gila, dan gangguan mental terhadap luka-luka masa lalu. Izwa telah banyak melewati hari-hari  dengan dunia luka di pikirannya sendiri. Sampai-sampai ia selalu menolak untuk menjadi diri sendiri. 


Namun, di samping halusinasi yang tinggi itu Izwa tiba-tiba melihat kedua sosok manusia. Ya, dalam halusinasi itu Izwa melihat ayah dan ibunya di kampung halaman sedang bermunajat kepada Tuhan di seperempat malam.  


Melalui tatapan dan pendengaran halusinasi itu Izwa mendengarkan tangisan kedua orang tuanya kepada Tuhan. Seraya meminta dengan sungguh-sungguh agar anaknya tetap dalam lindungan yang maha kuasa. Akhirnya, Izwa tak kuat lagi dengan efek minuman itu ia terlelap di meja resepsionis.  









 

Sabtu, 12 Februari 2022

Akal Bulus Mantan Aktivis

Ucapan Menteri Kalang Kabut sekaligus mantan aktivis dalam menyoali peristiwa di desa surga tak boleh dibiarkan apalagi dipercayai begitu saja. Sebaliknya justru mesti dibantah. 


Dia mengatakan,  pemberitaan soal gruduk isilop ke desa surga yang mencekam dan tidak kondusif itu hanya ke-alayan media sosial belaka. Tegas dia kembali, desa tersebut tenang dan damai: ia memperkuat argumen itu dengan menyuruh publik untuk datang ke lokasi jika tidak percaya. 


Pertanyaannya, apakah dia sudah pernah datang ke sana? Apakah dia mengetahui sepanjang hari warga tidak bisa tidur nyaman dan nyenyak? Apakah dia tidak mengetahui kondisi listrik dan sinyal sebelum gruduk itu mati? Apakah dia tidak membaca potensi isilop akan kembali lagi pasca peristiwa itu?  Apakah dia sudah kehilangan nalar kritis sebagai mantan aktivis? 


Selain itu pula, mantan aktivis tersohor itu mengucapkan peristiwa pengepungan isilop tidak membuat warga mengalami kekerasan dan korban. Begitu konyol dan ajaib, seorang akademisi, guru besar, prof, bahkan pejabat publik mampu mengucapkan statement ngawur ngalor ngidul. 


Setidaknya, dengan memberikan pertanyaan kepada dia kembali mengetahui akal bulus di balik retorika sebelumnya: apakah seorang pejabat semacam dia tidak paham kekerasan simbolik alias psikis? Apakah dia tidak belajar psikologi atau justru pura-pura membodohkan diri? Apakah dia tidak melihat jeritan dan ketakutan anak-anak kecil karena moncong senjata, dan kendaraan-kendaraan tempur itu? Apakah dia pura-pura buta bahwa anak kecil di sana takut pergi ke sekolah, dan warga tidak bisa bekerja seperti biasanya? 


Mestikah dengan itu, memberikan perspektif kepada dia bahwa sudah kehilangan moral dan kejujuran intelektual? Kekuasaan dan jabatan membuat pikiran dia menjadi kaset rusak. Sekaligus pula, hati nurani telah lama rapuh di lingkaran setan tanah.


Untuk itu, idealnya, mantan aktivis tersohor itu tidur bersama rakyat tertindas, agar akal dan hati tak rusak. Kemungkinan besar sebab adanya kemerosotan nalar mantan aktivis itu ia sudah nyaman dengan kehidupan serba ada mulai dari harta, tahta, dan jabatan. Sehingga, tak sudi hidup bersama rakyat cilik apalagi tidur bersama. Bukan main.


Memahami perilaku akal bulus mantan aktivis ini mengingatkan pada sebuah ungkapan Geogre Orwell: “Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati." 








Selasa, 08 Februari 2022

Narsisme



“Kehidupan setiap individu itu adalah panggung sandiwara. Setiap peran yang dimainkannya harus sebaik mungkin agar penonton terkesan dan memuji.” (Goffman,1971). 


Bagaimana melihat fenomena terhadap perilaku narsisme? Apakah narsisme itu baik atau buruk? Apakah narsisme justru membuat subjek terlihat mengalami gangguan jiwa? 


Sebelum menjawab pertanyaan itu mari melirik pengertian narsisme. Menurut, Santrock ( Dalam, Nurul Desidiah Esa (2018:17) dijelaskan narsisme merupakan pendekatan individu ke orang lain, tapi berpusat pada diri dan hanya mementingkan diri pribadi. Adapun, pada aspek perilaku individu narsisme, yaitu memiliki pengakuan terhadap diri bahwa ia sempurna, dan keinginan sekaligus harapannya sebagai hal utama alias urgen. 


Sementara itu, Kimmy Katkar dan kawan-kawan, dalam jurnalnya berjudul PENCITRAAN DIRI SEBAGAI PENYEBAB NARSISME (2021) menyoali motif perilaku narsisme. Adalah motif itu agar mendapat pujian, perhatian, menunjukan status sosial, dan mendapat citra baik di mata oleh orang lain. Sehingga, merasa paling tahu dan merasa paling terbaik di antara orang lain. 


Melalui pengertian dan motif narsisme itu mari berjalan-jalan dan menarasikan fenomena ini dengan satire George Orwell di binatangismenya. Orwell, sebagaimana menyoali narsisme seorang diktator dan kacung, ia menggunakan perumpamaan binatang. Sebut saja, misalnya: babi, anjing, kuda, dan hewan lainnya. 


Babi merupakan diktator yang memainkan peran sandiwara, sedangkan anjing, kuda, dan hewan lainnya hanyalah kacung untuk menyukseskan kehendak narsisme babi. Hal itu dapat dilihat pada ruang dialektika secara bersama para hewan yang tiada. Ya, itu karena kenapa: babi merupakan sang diktator alias merasa paling tahu. 


Akibatnya, sepanjang hari para hewan-hewan itu dikibuli oleh sang babi. Bekerja sepanjang waktu demi mensukseskan nama babi di kanca sejarah dunia. Namun, itu semua hanya berupa sandiwara sang babi belaka. 


Dengan begitu, perilaku narsisme atau cinta pada diri secara berlebihan membuat subjek terkesan mengalami gangguan jiwa. Perhatikan babi yang ditujukan oleh Orwell ke subjek Napoleon. Ia berperilaku narsisme sampai membunuh banyak orang. Naasnya, perilaku narsisme babi justru menjadi catatan buruk dalam sejarah. 

Babi sepanjang sejarah banyak di kutuk bahkan di caci maki. Duh. 




 











Aku tak Sama Lagi

Di Kota Jakarta itu aku terdiam di dalam kos. Rupanya aku sudah menjadi anak pendiam bukan main. Aku orang baru di Jakarta. Lebih lagi, di l...