Air Mata dan Kehidupan
Lentera hati redup kala realitas kehidupan memainkan perannya. Benar-benar tak adil realitas itu. Ia menampar diri melalui sebuah mata lalu merasuki pikiran.
Suatu malam jiwa terombang-ambing memikirkannya. Begitu rapu pada malam itu tentang jiwa dan kehidupan. Air mata ingin menetes di sepanjang jalan.
Termenung duhai hati merasakan arti dari kekecewaan. Perhatian hati mengara pada masa-masa lampau, lalu merasakannya dengan pelan-pelan. Namun, semakin sakit sahaja tentang rasa itu perlahan-lahan.
Terpojoklah dengan realitas, dan terpelanting di jiwa-jiwa kehampaan. Ke mana ia akan mengadu tentang realitas kehidupan. Air matakah, kehidupankah, atau pada angin-angin lembut malam?
Tak ada dapat meyakinkan kehampaan ini. Di sudut kota ia terjatuh pada kesakitan-kesakitan. Kesaksian air mata bukan sebagai tempat pengaduan. Hanya sahaja sebagai wadah untuk meluapkan.
Ia teringat bunga tua di sudut desa semerbak nan elok: Layukah bunga-bunga itu ketika ia mengetahui tentang realitas saat ini kupu-kupu, tanya ia pada angin malam.
Kupu-kupu itu kerap mencium bunga dengan cinta. Tapi, akankah cintanya saat ini justru berubah menjadikan bunga-bunga menggugurkan dari tangkainya?
Duhai pada kesakitan tentang ingatan, betapa mengapa menyajikan tentang realitas memukul telak jiwa itu? Tak ingin rasanya memasuki kehampaan begitu rupa ini. Begitu telaknya pukulan realitas terhadap jiwa.
Terlebih, ingatan bunga-bunga membuat semakin rapuh. Ia rapuh terduduk dengan air mata dan kehidupan. Pada dinding kosong kehidupan ia bermaksud bertanya:
“Ketika air mata telah jatuh di hadapan realitas kehidupan. Ketika jiwa telah hampa tertunduk pada realitas kehidupan. Ketika pikiran telah tumbang pada realitas kehidupan. Akankah nyanyian sunyi di sudut kota telah gagal juga di hadapan bunga-bunga musim semi di desa?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar