Sunyi Itu Tarian Hati dan Pikiran
“Sunyi tak pernah sendirian. Ia selalu terkait dengan kita, aku, dunia.” ( Goenawan, 2021).
Aku di mana mengapa aku berdiri sendiri di bawah pohon besar ini? Ke mana orang-orang mengapa tiba-tiba tidak ada satu pun di hadapanku? Kabut, kabut, dan kabut hanya itu aku lihat di sekitarku saat ini.
Apakah begitu sunyinya hidup ini? Apakah hanya diriku yang merasakan sepi bin sunyi itu? Di lorong-lorong hutan, di pojok itu ada pohon besar. Aku berdiri di situ.
Aku menghadap ke atas. Aku memperhatikan daun-daun jatuh satu persatu ke muka. Angin-angin menyambut dengan lembut. Menerbangkan daun dan menggoyangkan pepohonan.
Menghela nafas perlahan-lahan. Meniupkan per lahan-lahan dari mulut. Aku merasakan hidup telah di penghujung sunyi. Sunyi menyambutku dengan daun-daun berjatuhan dan kabut menutup penglihatanku dari keramaian.
Itu bunyi sunyi yang sembunyi di penghujung kabut tahun. Menyambut tanpa permisi, tapi aku merasakan begitu berbahagia diri bersahabat dengan sunyi.
Tepat. Tak ada benar-benar mengerti tentang kehidupan selain sunyi. Sebab, sunyi adalah kunci untuk memahami sebuah kotak misteri bernama kehidupan. Bukankah itu kebahagiaan?
Sunyi memiliki kunci untuk membuka realitas kehidupan tersembunyi. Kunci itu adalah keadaan bercakap pada keramaian di dalam diri sendiri. Membuka yang tidak terlihat oleh keramaian lalu terciptalah keadaan jernih.
Telah lama sunyi hadir di dalam dunia kesendirian. Terdiam di keramaian. Terdiam di antara kendaraan bising kota. Namun, diri hidup di dunia sepi yang tercipta oleh pikiran.
Karena itu, di bawah pohon besar, di lorong-lorong hutan bernama pikiran dan hati. Aku persembahkan sunyiku kepadamu melalui tinta-tinta kesendirian.
Dengan begitu, aku, dunia, dan kita bertemu di lorong-lorong sunyi saling bersembunyi dan merindu. Seperti sajak penghujung kabut tahun sunyi ini:
Sunyi itu bukan kesepian
Sunyi itu bukan luka
Sunyi itu bukan nestapa
Tapi, sunyi itu tarian hati dan Pikiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar