Minggu, 01 September 2024

Aku tak Sama Lagi

Di Kota Jakarta itu aku terdiam di dalam kos. Rupanya aku sudah menjadi anak pendiam bukan main. Aku orang baru di Jakarta. Lebih lagi, di lingkungan kos: sunyi dan pendiam. 


Aku berbeda dengan diriku waktu-waktu di Jogja. Sebab, aku sudah begitu berbeda jauh dengan itu. Aku telah hilang sebagai diriku. Entah apa yang membuat diriku menjadi begini adanya.


Kerap saben hari aku merasakan telah jauh dari aktivitasku sebagai penggemar ilmu. Dahulu aku menomor satukan ilmu. Namun, kini itu hanya cerita masa lalu saja. 


Jujur aku malu. Malu melihat diriku saat ini. Ketika melihat teman-teman sudah melangka maju. Aku masih terjebak dalam kubangan tak tahu arah itu. 


Aku sudah jauh tertinggal. Bahkan di umurku masih tergolong matang aku bagaikan anak kecil yang tersesat di keramaian. Aku ingin kembali kepada diriku yang penuh energi itu. Memiliki mimpi dan cita-cita. Jemput aku. 

Minggu, 25 Agustus 2024

Izinkan aku menulis kembali

Aku bener-bener lumpuh dan jatuh. 

Entah bagaimana aku menjalankan hari-hari penuh kebosanan ini. Jujur aku sudah mati hampir 2 tahun lamanya. Gairah-gairah menulis yang aku junjung tinggi  dahulu kini hilang begitu saja.


Aku tak mengetahui bagaimana memulai perjalanan menulis kembali. Aku pun tak tahu bagaimana merangkai kata, kalimat, dan paragraf. Seolah dalam pikiranku itu semua musna.


Hilang entah ditelan oleh lapisan air mata dan penyesalan. Dahulu aku masih muda dan mahasiswa jiwaku begitu bergemuruh. Aku ingin menjadi ini dan itu. Namun, semua hanya tinggal catatan dan agan-angan belaka. 


Sialan pula. Aku terjebak dalam lautan-lautan tak berani berenang. Aku takut melangka kembali. Aku takut untuk memulai kembali: menulis. 


Terus terang aku menjadi dungu dan bebal. Kehilangan beribu harapan dan perjalanan. Mimpi-mimpi dahulu kala hanya mimpi siang bolong. 

Bahkan itu bagaimana nereka yang terus membakar.


Aku merindukan menulis dan kata yang selalu menemaniku. Akan tetapi, entah mengapa kata kini bukan lagi bagian dari hidupku. Padahal, aku merindukan menulis dan ingin berumah padanya. 


Izinkan aku menulis kembali di sudut-sudut jakarta. Sudut memulai untuk membuka lembaran baru dan cerita baru. Aku harap itu mulai tertata kembali. Itu.  





Minggu, 22 Oktober 2023

 Dari aktivisme, ketua partai, dan pengamat.


Jono lagi-lagi menjadi pribadi fomo. Diam-diam dia menjadi manusia pengamat. Sebelumnya, Jono, menjadi aktivis yang bukan aktivis abal-abal. Dia benar-benar aktivisme yang hidup di dalam kekuasaan. Dia menjadi pribadi benar-benar ulung dalam soal memikat audiens. 


Tengok saja, dia sudah menjadi pendekar ulung di dalam kampus. Tanpa malu-malu dengan wajah ganteng luar biasa. Mungkin melebihi Iqbal (baca: artis) ia sudah naik tingkat menjadi orang luar biasa. Jelas dia menghentakan dada bahwa saya orang paling keren di dunia.


Tak berlebihan kalau memandang wajah gantengnya itu. Mungkin pula di dalam dunia kampus ia mengatakan bahwa ia adalah manusia paling berpengaruh dan memiliki organisasi salah satu terbesar di Indonesia. 


Bukankah ia adalah sosok yang sok-sokan. Sekaligus pula orang yang merasa atau berpikir bahwa dunia berputar hanya pada dirinya saja. Gila. Lihat tanpa melihat kiri dan kanan bahwa organisasi itu di isi oleh banyak kalangan bukan hanya dirinya tok.


Mungkin pula diam-diam dia memiliki partai itu. Maaf. Tentu perlu curiga dari mana aliran dana dan uang yang dihasilkan? Tak berlebihan kalau bukan dari uang dari menjilat atasan. Sebab, benar tanpa menjilat mana mungkin ia dapat uang sebesar itu.


Jon, dunia sudah berkembang begitu pesat. Tidak perlu melebih-lebihkan sesuatu. Hal semacam itu sungguh biasa saja.  Tidak ada hal yang istimewa dan dilebih-lebihkan. Adalah tepat mengatakan memalukan  dan menjijikan. Itu. 

Rabu, 24 Mei 2023

Membuka Jendela Tulisan


Apa yang seharusnya kita tulis dalam tulisan kali ini? Tulisan yang baru saja kita buka jendelanya. Sebab, selama ini terkurung dalam kamar yang pengap nan tak mengenakan. Benar selama ini tak pernah keluar dalam kata-kata yang bebas dan yang menenangkan pikiran.

Tuan, mari kita mulai kembali membuka jendela tulisan. Menulis apa yang seharusnya ditulis dan apa adanya. Tanpa perlu kita kembali pada ruang-ruang yang memenjarakan pikiran. Kita menulis dengan bebas dan menari-nari bersama kata-kata.

Kata-kata yang selama ini mulai padam dalam diri semestinya harus dihidupkan kembali. Hal ini seperti menghidupkan obor di depan rumah yang hampir mati. Ya, perumpamaan itu mengingatkan kita pada masa-masa kecil di desa. Di desa pada waktu masih kecil tiada listrik hanya ada obor-obor.

Begitulah ibarat katanya kita memulai menulis dengan perasaan dan pikiran. Dengan keadaan zaman yang membingungkan ini tulisan hanya seperti motor yang silih berganti berlalu. Banyak tulisan-tulisan bertaburan di dunia ini.

Namun, begitulah dengan hidup ini banyak orang yang selama ini menjengkelkan seperti halnya tulisan berita-berita politik belakangan ini. Muskil untuk menatap kedamaian batin dan pikiran. Sebab, begitu banyak peperangan, penderitaan, dan kekecewaan terhadap kehidupan di dunia.

Walaupun begitu, tuan, kita harus hidup dalam kemandirian. Siap untuk menerima segala informasi yang sudah begitu banyaknya di dunia ini. Di dalam penampakan segala kengerian itu masih terdapat satu pesan kedamaian. 

Kedamain itu bagaimana kita bebas untuk memilih jalan ketenangan batin. Oh, ya, dengan apa melakukan itu semua? Dengan merasakan penderitaan lalu memaknai itu secara sederhana saja. Dan, mencoba menarik senyum di pipi bahwa dunia memang begini adanya. Maka menulis dengan jendela baru ini untuk kembali menemukan kebahagian di dalam diri yang beberapa dekade mulai padam. Demikian.

Hasrat Untuk diakui


Angin malam berhembus ke utara. Dan, nyanyian malam baru saja akan diputarkan. Nyanyian tentang kesunyian dan kesepian dengan alunan roda kehidupan manusia. Kehidupan yang penuh pertanyaan dan mencari makna-makna dari itu semua.

Pada malam hari ini kita akan membuka nyanyian bernama hasrat untuk diakui. Sebuah frasa yang sering dilontarkan orang-orang mengenai dalam menjalankan kehidupan. Ya, ada banyak orang-orang yang ingin diakui dalam menjalankan hidup.

Sering dalam menjalankan kehidupan kita tidak jarang menemuhkan bahwa orang melakukan sesuatu untuk hasrat diakui. Sebuah fenomena lama yang telah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Namun, cukup menarik untuk membahas persoalan ini kembali.

Marih kita buka kembali lembaran itu: mengapa orang memiliki kecenderungan hasrat untuk diakui? Sederhananya, hal ini dikarenakan kita “belum” mampu untuk bersandar pada keikhlasan dan ketulusan. Dalam menjalankan kehidupan manusia memang tidak luput akan pengakuan atau diakui dalam banyak aspek pekerjaan.

Wabilkhasil, itu membuat manusia menjadikan diri menjadi sombong dan saling menaruk status sosial. Padahal, hasrat untuk diakui hanyalah sebuah keinginan dalam diri yang itu bersifat sementara. Oleh karenanya, pertanyaan dilontarkan kembali: untuk apakah hasrat untuk diakui ketika menjalankan sebuah pekerjaan? 


Kalau pada maknanya kita akan menemuhkan sebuah titik makna yang bersifat sementara. Lebih eloknya lagi bagaimana jikalau kita mengerjakan suatu pekerjaan tidak untuk diakui? Menurut hemat tulisan ini, itu lebih menjadi suatu keindahan dan kebahagian.


Pada intinya dalam menjalankan suatu pekerjaan. Lakukan saja dengan berusaha tulus dan ikhlas niscaya akan ada hal berbeda ditemukan. Ya, suatu kebahagian dan ketenangan di dalam batin serta pikirian.

Jangan Takut dibenci


Berbicara tentang dibenci merupakan hal yang klise. Sudah menjadi bahasa umum bahwa dibenci suatu hal yang tidak mengenakan dan menyedihkan. Orang-orang banyak yang tidak ingin dibenci, tapi ingin dipuji begitulah realitas berjalan.

Namun, di dalam kehidupan dibenci sesuatu hal yang tidak dapat terelakan. Bagaimanapun Anda berperilaku pasti ada saja orang yang tidak menyukai alias membenci. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi sebut saja: iri, buruk hati, tidak mampu menjadi sepertimu, dan sebagainya.

Jadi, mari kita bertanya: Bagaimana menghadapi kehidupan orang yang membenci? Bagaimana menjalankan kehidupan yang penuh kebencian? Bagaimana seharusnya kita bersikap atas problem kebencian ini? 

Menarik untuk diulas menggunakan buku berjudul “Berani Untuk Tidak Disukai”. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa tidak masalah dibenci orang lain. 

Bahkan buku itu sendiri menyarankan lebih baik dibenci daripada dipuji. Sebab, pekerjaan membenci bukan pekerjaan kita melainkan orang lain. 

Kita dapat merumuskannya dengan pembagiaan tugas, bahwa opini buruk orang lain terhadap diri kita itu pekerjaan mereka. Untuk itu, tidak perlu repot-repot atas pekerjaan mereka yang hanya menghabiskan waktu untuk membenci. Lebih baik kita mengontrol kendali pikiran kita terhadap diri sendiri.

Oleh karena itulah, prinsip pembagian tugas ini dapat menenangkan pikiran dan jiwa kita. Hal ini sendiri disebabkan hanya diri kitalah yang dapat mengontrol kehidupan kita bukan mereka. Seperti halnya seni bersikap bodo amat atas pandang orang lain terhadap diri kita. Demikian.

Mengapa Engkau Ingin Menjadi Orang Lain?

Perkara hidup memang tidak bisa dijelaskan begitu saja dikarenakan banyak paradoks-paradoks yang ditemukan. Kehidupan memang banyak menuntut orang untuk tetap belajar. Mulai belajar memahami lingkungan, alam, manusia, kehidupan pribadi, dan sebagainya.

Mari kita membuka jendela kehidupan yang menarik untuk dikunjungi. Kunjungan kali ini akan bertemu pada diri sendiri. Ya, mari kita mulai dengan pertanyaan, “Mengapa orang banyak ingin menjadi orang lain?”

Dewasa ini jika dicermati banyak orang lain ingin menjadi sih A, B, C, dan seterusnya. Ada semacam keinginan menjadi orang lain. Sebab, menurut mereka menjadi orang lain itu lebih baik daripada menjadi diri sendiri.

Tumbuhnya kehendak menjadi orang lain merupakan satu sikap dalam pribadi seseorang yang luput untuk mengenal diri sendiri. Mereka percaya dengan melihat (contoh: melihat kehidupan sosial media orang lain) kehidupan orang lain itu lebih indah dan bahagia. Penilaian dalam segi sisi luarnya inilah yang membuat keinginan untuk menjadi orang lain bukan diri sendiri.

Hal inilah timbul semacam problem yang mengakibatkan seseorang tidak mencintai diri sendiri. Mereka menilai diri kurang layak seperti perbandingan pada orang yang dituju. Akibatnya, mulailah tumbuh sikap dalam diri untuk tidak menerima diri sendiri.

Selain itu, hal ini juga membuat orang tersebut kehilangan jati diri yang sesunggunya. Hematnya atau semestinya ada fitler dalam diri yang mesti dipakai. Jangan sampai perbadingan dan kehendak itu membuat seseorang kehilangan atas pikiran dan kodratnya. 

Sebab, hanya dengan itu orang tersebut dapat mampu menerima diri sendiri apa adanya. Dan, tidak perlu untuk tidak menerima diri sendiri. Mari membuka hati dan pikiran agar tetap menjadi diri sendiri di era teknologi yang menggila ini.

Aku tak Sama Lagi

Di Kota Jakarta itu aku terdiam di dalam kos. Rupanya aku sudah menjadi anak pendiam bukan main. Aku orang baru di Jakarta. Lebih lagi, di l...