Ini cerita hidup gue yang harus mundur dari jabatan demi bertahan hidup. Gue di umur 22 tahun udah gak sanggup menghadapi tantangan hidup di usia segitu. Di usia segitu, gue mahasiswa semester akhir, tapi gue menjadi pemimpin salah satu organisasi kepenulisan.
Ya, gue menjadi pemimpin redaksi yang setiap waktu mengecek naskah dan mencari tulisan buat diterbitkan. Namun, sayang seribu sayang dengan aktivitas yang penuh ketelitian dan aktivitas akal. Gue harus mengalami satu penyakit aneh yang harus gue alami.
Gue harus menghadapi penyakit kesehatan mental berupa stress, depresi, dan overthinking. Lebih lagi, gue harus bertahan dari semua rasa itu satu bulan lebih. Bayangkan di dalam kost saya harus bertahan dengan kondisi seperti itu.
Bahkan, oh, ini tak elok jika disebutkan: gue di kondisi itu mau mengakhiri hidup gue. Sebab, tuntutan kepada gue udah gede betul. Ya, semacam harus segera menyelesaikan skripsi dan menyelesaikan majalah di organisasi gue. Belum lagi, tulisan biasa yang mesti diterbitkan di website.
Aduhai, sepanjang waktu di dalam kost penuh ratapan kosong : gue mengutuk diri sendiri. Sebab, dalam kutukan itu gue bertanya-bertanya: kenapa sih loh bisa jadi pemimpin redaksi di semester gini? Kenapa sih loh bisa sakit parah gini?
Terlebih lagi, proposal yang diajukan ke dosen gue gak diterima. Ya, gue harus membuang naskah proposal dengan 23an halaman itu ke tong sampah. Padahal, gue udah ngerjain secara serius di rumah dulu.
Dengan kondisi demikian, gue bener-bener terpuruk. Gue bener-bener jatuh sejatuhnya. Kendati demikian, dengan kondisi kesehatan mental dan kesehatan fisik yang buruk tidak ada yang peduli dengan kondisi gue.
Teman-teman hanya bisa memberikan semangat kepada gue berupa kata-kata. Itu bagi gue cukup banget, tapi sayang kondisi untuk bangkit udah gak memungkinkan. Akhirnya, gue mundur dari jabatan dan memilih pulang ke rumah dan bertemu dengan kedua orang tua gue. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar