Senin, 10 Januari 2022

Kota dan Zaman

Kota dan Zaman 
 
Orang-orang melintas di jalan bundaran UGM. Termenung memperhatikan dari pojok angkringan jalan-jalanan itu. Aku perhatikan manusia sana ke mari pergi di depan mata. 
 
Ke mana mereka pergi, ke mana mereka mengarungi samudra kehidupan ini? Hidup di tengah kota terselip beragam tanda tanya. Sudah menjadi santapan keseharian hidup di kota memasuki dunia tanda tanya. 
 
Kota memiliki  segudang kunci  cara memandang kehidupan. Aku memegang satu kuncinya. Aku membuka pintu kemisterian perkotaan dengan satu kunci bernama pikiran. 
 
Pikiranku semacam akar pepohonan bercabang ke sana kemari. Tapi, pikiran acak kali membingungkan dalam memandang kehidupan di perkotaan.  Aku tak mampu memasuki pintu yang di dalamnya sebuah kehidupan orang-orang kota. 
 
Aku ingin melempar kunci ini. Kemudian, menutup kembali pintu perkotaan. Sebab, aku tengok di dalam ruang bernama kota begitu mengerikan. 
 
Begitu cepat peralihan zaman ke zaman. Begitu cepat juga orang-orangnya berubah menjadi manusia hedonisme. Aku perhatikan kota sudah disibukkan perkara-perkara menghamburkan nafas. 
 
Setidaknya itulah isi di dalam ruang perkotaan. Orang-orang telah banyak disibukkan dengan perkara zaman. Tak mampu membendung datangnya sebuah zaman serba-serba ini. 
 
Aku jadi teringat dalam satu bacaan yang pernah aku selami tentang kota nun di Eropa sana.  Di abad 19 dan abad 20 kehidupan kota di Eropa persis yang terjadi di kota yang aku singgah ini. Namun, mereka telah lebih dahulu mengetahui. 
 
Di sana orang-orangnya lebih dahulu hidup hedonisme ketimbang di kota ini. Mereka telah menyelami dunia-dunia perkotaan yang lebih dari serba-serba. Ini satu dari tanda peralihan zaman-zaman. 
 
Kendati begitu, tapi ada hal yang membuat aku tertarik mengunjungi kehidupan di abad 19 dan 20 di Eropa. Kata zaman padaku, Eropa memiliki perbedaan dengan kota-kota yang engkau singgah saat ini. Di sana ada kaffe, musik, buku, dan orang-orang berdiskusi di banyaknya sudut kota. Tapi, lain hal dengan kota ini, hanya julukan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku tak Sama Lagi

Di Kota Jakarta itu aku terdiam di dalam kos. Rupanya aku sudah menjadi anak pendiam bukan main. Aku orang baru di Jakarta. Lebih lagi, di l...